Thursday, December 31, 2020

2020 Recap

Begitu cepatnya waktu berlalu dan kini sudah sampai di penghujung tahun kembar 2020. Tahun yang mengharuskan kita beradaptasi akan sesuatu yang benar-benar tidak pernah terbayangkan akan terjadi sebelumnya. Awal tahun 2020 aku menghabiskan waktu di Jember. Saat itu aku baru tiga bulan tinggal di Jepang, tapi aku sudah memutuskan pulang sejak akhir tahun 2019 untuk menikmati libur musim dingin di rumah. Banyak yang bilang untuk apa pulang, buang-buang uang, atau ini baru tiga bulan loh, waktunya menikmati pariwisata Jepang, hunting salju, main ski, dan sebagainya. Bagiku bisa pulang ke kampung halaman tetaplah yang terpenting, meski aku harus melewatkan salju atau mengeluarkan uang yang tak sedikit karena mahalnya tiket saat liburan. Dan benar saja, tidak pernah aku sesali keputusan itu. Situasi pandemi memburuk mengharuskan banyak negara melakukan lock down termasuk Jepang. Lebaran Idul Fitri datang, aku tidak bisa pulang. Demikian juga lebaran Idul Adha. Lebih tepatnya tidak bisa kembali ke Jepang jika aku memaksa pulang ke Indonesia. Tentu orang tuaku tidak mengizinkan aku pulang dengan situasi yang tidak pasti itu. Sedih? Banget! Aku sedih membayangkan orang tuaku yang rindu karena anaknya ngga pulang, aku sedih karena tidak bisa meminta maaf dan berlebaran langsung dengan mereka. Lebaran aku habiskan bersama teman-teman rantau yang mungkin punya kesedihan yang sama denganku, tapi kami saling menguatkan dan saling berbagi makanan tentunya. Silaturahmi online pun berderet jadwalnya, sedikit banyak memberi kehangatan dalam hati yang sudah diselimuti es kesedihan. Bulan Mei 2020, aku resmi dilamar oleh laki-laki yang selama ini jadi temanku bertumbuh. Dia yang sudah aku kenal sejak remaja dulu, datang ke rumah menemui orang tuaku bersama kedua orang tuanya. Tidak ada acara lamaran pakai EO seperti yang biasa ramai di instagram. Aku menyatakan kesediaanku melalui sambungan whatsapp dan saat itu aku sedang berada di lab. Alhamdulillah atas ridho Allah SWT, kami telah melangsungkan pernikahan pada 26 Desember 2020 lalu di Jember. Aku resmi jadi istri orang, di usia 24 tahun, pada tahun cantik yang penuh kenangan: 2020. 2020 memang banyak sekali cobaan menerpa, bagi setiap orang, bagi seluruh dunia. Tapi di balik itu, banyak juga hal baik yang patut disyukuri. Hampir semua orang merasa 2020 terlalu cepat berlalu, entah karena semua kegiatan jadi online, tidak seperti biasanya, ataukah memang kiamat sudah dekat? Semoga di 2021 dengan segala apapun ketetapan yang akan terjadi, kita semua diberikan kekuatan dalam menghadapinya :) Amin

Saturday, December 26, 2020

A letter for you

Dear Mas Nanda, We've been through failure and success, joys and tears, thin and thick, rejection and acceptance. Thousand miles apart but we have each other in our heart. Thanks for being you, being brave, and responsible. Thanks for having me and let's grow old together! Eleven years, and still counting

Tuesday, December 8, 2020

Curhat mahasiswa doktoral semester satu

Menjadi researcher di bidang basic science dan bioinformatika bisa dibilang merupakan hal yang sangat baru buatku. Basic science yang kumaksud di sini adalah biologi, lebih spesifiknya lagi adalah mikrobiologi. Sementara bioinformatika, merupakan sebuah cabang ilmu baru yang menjadi perkawinan dari biologi, ilmu komputer, dan statistika. Sedetikpun tidak pernah terbayang saat kuliah dokter dulu akan lanjut di bidang bioinformatika.

Monday, December 7, 2020

A humble, kindhearted Professor

It's been a long time since I wrote on this blog and this evening I got a nerve to write again. It was all because I found Horiguchi Sensei's blog. Horiguchi Sensei is the principle investigator aka head lab or Professor of Department of Molecular Bacteriology in RIMD, Osaka University. Since June, I've been doing experiment in his lab together with Hendra, my friend from Indonesia. Actually we're coming from dry lab in Department of Genome Informatics, but since we need to do some wet experiments to increase robustness of our tools, and our lab has no space to do experiment, Daron (our Professor) ask for collaboration to Horiguchi Sensei and he happily said yes to accommodate our needs.

We are now dealing with bacterial toxins and some antibody production experiment. It's not an easy task for me but I shouldn't be afraid since I'm in the lab of bacterial toxins master. During the past six months, I learned so many things from this lab. Unlike Hendra that already got master in immunology, I have zero previous experience in doing such wet lab experiments, but Horiguchi Sensei and his lab members (especially Nishida Sensei and Dendi) always there to help me. From most of the time, I saw Horiguchi Sensei as a kind and humble person. What I never imagine about him is he also likes to do blogging. He is very delighted to keep his blog updated. On October, we celebrate his birthday and he wrote that on his blog. Here is the link

http://yasgreenrecipes.seesaa.net/article/478162758.html

I was so surprised because I am not even his lab member but I was there. I can feel his appreciation and acceptance for us. Reading on his blog gives me courage to open up my blog again and write something. Anything. I hope I can update my blog more frequent, just like Horiguchi Sensei.

Horiguchi Sensei (with cake) and the lab members minus Nishida Sensei and Sugi San

 

Thanks for reading!

(Anyway I'm still learning to write English spontaneously, so anytime you find mistakes, please let me know ;)

Thursday, August 27, 2020

Untuk Indri, Mamanya Jehan

Izinkan aku, dengan derai air mata rindu yang mengalir deras, menuliskan ini untukmu Ndri, seorang sahabat terbaik yang pernah ku kenal. Selama hampir setengah tahun sejak sebuah pesan singkat masuk dari Gesti (3 Maret 2020):

"Nit, Mbak indri meninggal",

ternyata aku belum sadar penuh bahwa kita tak lagi bisa bersua. Aku masih percaya bahwa kamu sedang ada di samping Jehan, tertawa renyah dan hangat. Sampai pagi ini, aku membaca berbagai pesan dari Mas Adit untukmu Ndri. Iya, laki-laki itu masih sangat amat dan akan terus mencintaimu. Surat-surat Mas Adit menyadarkanku Ndri, bahwa kepergianmu nyata, untuk selamanya. 

Indri, aku minta maaf. Aku tidak ada di sana saat kamu kesakitan. Aku juga tidak kuasa melakukan apapun untuk meringankan sakit dan sesakmu. Aku sering mendengarkan ceritamu, betapa kamu tengah berjuang dengan keras melawan sakitmu. Sakit yang untuk perempuan lain seusia kita, termasuk aku, mungkin tak akan sanggup menghadapinya. Tapi kamu sudah menerimanya dengan tegar Ndri. Kamu begitu semangat untuk bisa bertahan lebih lama, tak hanya demi dirimu sendiri tapi juga demi Jehan, Indri junior yang ku dengar kini sudah sangat luar biasa pintar. Saat aku bertemu Jehan yang saat itu masih sangat kecil, aku bisa melihat kilau cerdas dari sorot matanya. Mirip sekali denganmu, Ndri.

Indri, aku rindu. Aku masih tidak percaya kamu pergi. Aku rindu celotehmu yang berisik namun hangat. Aku rindu tawamu yang kadang meledak demi menertawakan kebodohan kita bersama. Aku rindu saat kamu konsultasi soal kesehatan, dengan semua pertanyaan kritismu. Aku rindu jadi dokter pribadimu. Aku rindu brownies singkong buatan kita. Aku rindu makan rujak buah sama-sama.

Betapa aku egois Ndri, jika aku ingin kamu hidup lebih lama. Allah sudah mengambilmu Ndri. Allah mengakhiri penderitaanmu, memanggilmu kembali keharibaan-Nya. Kamu sudah tak perlu lagi sesak, tak perlu lagi cemas, tak perlu lagi minum obat yang banyak sekali itu. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Terimakasih sudah menginspirasi, kamu adalah sosok mama muda yang kuat dan hebat untuk Jehan serta istri yang luar biasa untuk Mas Adit. Terimakasih sudah mau berteman denganku, bercerita kepadaku, dan sudah percaya padaku, di saat aku sendiri kadang meragukan kemampuanku. Semoga kamu tenang di surga. Amin


Al Fatihah

Sunday, August 23, 2020

Abortus Provokatus part 2

part 1 : https://diadianita.blogspot.com/2019/04/abortus-provokatus.html

Saat itu perasaan saya campur aduk. Di satu sisi saya sungguh tidak bisa menepikan kekesalan saya melihat ulah pasien yang dengan sengaja membunuh janin yang dikandungnya, ditambah dengan cara nya yang tidak aman hingga membahayakan nyawanya sendiri. Di sisi lain saya juga semakin sebal membayangkan ayah dari janin malang tersebut yang namanya telah terukir menjadi tato berbentuk urtikaria di lengan bawah remaja putri malang tersebut. Ah, apa iya dia tahu bahwa anaknya sudah tiada? Atau dia kah yang mengusulkan ini semua? Lari dari tanggungjawab? Berpikir ini hal biasa?
Apa iya tahu bahwa wanitanya kini sedang meregang nyawa? Saya ingin sekali pasien ini selamat dan berharap dengan demikian ia bisa punya kesempatan kedua untuk bisa hidup lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun, kondisinya malam itu benar-benar mengkhawatirkan.
Hingga hari berganti, Mba Tina, bidan jaga IGD yang shift bersamaku saat itu tidak henti melakukan pemantauan tanda vital pasien setiap 30 menit sekali. Semua obat topangan kardio sudah diberikan namun tekanan darahnya tak kunjung membaik. Urinnya juga tak sedikitpun bertambah. Pasien ini lantas masuk ICU demi pemantauan yang lebih baik.
Segala upaya kami lakukan, namun Allah berkehendak lain. Keesokan harinya, pasien tersebut meninggal dunia. Menyisakan kesedihan dan berbagai pertanyaan dari pihak keluarga, mengapa anak remaja itu bisa meninggal padahal sebelumnya baik-baik saja, tidak ada riwayat penyakit berat dan lain sebagainya. Tidak seluruh anggota keluarga mengetahui status kehamilan anak tersebut, apalagi tindakannya yang melakukan aborsi.
Ternyata, remaja ini tidak punya kesempatan kedua ...

Pesan saya cuma satu untuk yang membaca tulisan ini, terutama jika kalian remaja atau yang belum kebayang pembicaraan apa ini semua. Kalau tidak mau merawat anak, tolong jangan membuat anak.

Code Blue

Sore itu IGD tidak terlalu ramai. Hanya ada satu dua pasien yang rencana rawat jalan dan satu dua pasien yang tinggal menunggu waktu kepindahan ke kamar rawat inap. Saya dan kakak-kakak perawat jaga sedang duduk menulis status tanpa terburu sambil sesekali memasukan cemilan ke mulut. Tiba-tiba kami dibuat kaget oleh sebuah teriakan yang berasal dari lobi IGD: "Code bluee!!!!!"

Code blue adalah sebuah kode yang umum digunakan di lingkup fasilitas kesehatan yang artinya ada orang yang henti jantung/henti napas. Henti jantung dan henti napas merupakan kegawatdaruratan yang paling mengancam nyawa, dan penanganan yang tepat serta cepat konon mampu mengembalikan denyut maupun napas pasien, tentunya tergantung juga pada penyakit penyerta yang diderita pasien.
Di RS tempat kami bekerja, pengumuman code blue sudah terintegrasi dari setiap telepon yang ada di RS langsung ke pengeras suara di seluruh sudut RS, sehingga di manapun dokter dan tim code blue berada, bisa langsung merespons dengan datang ke TKP.

Namun sore itu, ada hal yang tidak biasa. Kami mendengar teriakan code blue dari seorang wanita yang berada dari dalam mobil tepat di lobi IGD. Saya berlari menyambar alat bagging, kakak-kakak perawat juga langsung berlari ke lobi dan sebagian membawa brankar. Seorang laki-laki paruh baya yang duduk di kursi samping pengemudi terkulai lemas tidak sadarkan diri, sementara wanita yang berteriak tadi duduk di kursi penumpang belakang. Salah satu perawatku langsung mengambil inisiasi untuk melakukan RJP (resusitasi jantung-paru*) di kursi penumpang sementara tim menyiapkan brankar untuk membawa masuk pasien. Karena posisi yang kurang maksimal untuk melakukan RJP di jok mobil, dalam waktu beberapa detik kami pindahkan pasien tersebut ke atas brankar dan langsung membawanya menuju zona merah IGD sambil tetap melakukan RJP. Secara simultan, tim kami juga mencoba mencari akses intravena serta memasang elektroda yang terhubung pada monitor untuk mengetahui irama jantung pasien. Setelah beberapa siklus kompresi, obat-obatan serta kejut defibrilasi diberikan, pasien ini ROSC, kembali memiliki sirkulasi spontan atau dengan kata lain, jantungnya kembali berdenyut! MasyaAllah

Kami memantau pasien ini dengan seksama selama di IGD, karena bukan tidak mungkin terjadi serangan jantung berulang. Ketika sedang sibuk konsul ke dokter penanggung jawab pasien, yang dalam hal ini dokter spesialis jantung, serta memesan kamar ICU untuk perawatan pasien selanjutnya, saya terkesima melihat pasien tadi sadar, compos mentis, sampai sampai bisa duduk di atas brankar IGD. Pasien paruh baya tersebut berkata ia haus dan juga bisa bercakap dengan keluarganya walau dalam kondisi yang masih cukup lemah. Saya mengingatkan agar keluarga tidak terlalu banyak mengajak pasien berbicara terlebih dahulu agar pasien tersebut dapat beristirahat.
Hal ini menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga bagi saya. Beberapa menit sebelumnya, Bapak tersebut tidak sadar, jantungnya berhenti berdenyut sama sekali, dan atas kuasa Allah, ia kini bangun dan terduduk dan bahkan berbicara ingin minum. Allah berikan kesempatan baginya untuk kembali berbincang dengan keluarga. Sebetulnya ini bukan kali pertama pasien tersebut mengalami serangan hingga henti jantung. Beberapa bulan sebelumnya, pasien juga mengalami henti jantung dan setelah dilakukan resusitasi, beliau kembali hidup dan bertahan hingga sekarang. Beliau memiliki,... kesempatan kedua.

Lantas saya berpikir, berapa banyak orang di luar sana yang mati lantas memohon pada Allah untuk diberi kesempatan kedua agar bisa solat, taubat, dan bersedekah, namun tidak lagi dikabulkan? Berapa banyak dari kita yang menyianyiakan kesempatan hidup kita yang hanya satu-satunya ini dengan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan?

*resusitasi jantung paru adalah tindakan melakukan kompresi atau penekanan pada pertengahan dinding dada tepat di atas tulang dada untuk menggantikan sementara fungsi jantung dalam memompa darah ke paru dan seluruh tubuh. kompresi disertai juga dengan memberikan napas buatan.

Wednesday, August 19, 2020

Klaim sebelum publikasi ilmiah, kebebasan pendapat yang bisa jadi bumerang

Sehubungan dengan beredarnya informasi terkait hasil penelitian uji klinis obat kombinasi COVID-19 dari Universitas Airlangga (Unair), kita patut memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada tim peneliti Unair atas capaian yang luar biasa tersebut. Di tengah perang melawan pandemi COVID-19, semua sektor negara sedang berjuang dengan keras, bahu-membahu demi melandaikan kurva angka COVID-19 dan mempertahankan stabilitas ekonomi-politik. Unair sebagai institusi pendidikan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan ini dengan melakukan penelitian uji klinis.   

Meskipun seluruh obat yang digunakan sebagai kombinasi telah rutin dipakai sebagai obat antivirus dan antibakteri, atau dengan kata lain telah ada di pasaran dan “relatif” aman, Unair telah melakukan langkah tepat yaitu melakukan uji klinis terhadap kombinasi obat dan dosis barunya. Hal ini krusial mengingat obat tetap memiliki kadar toksisitas jika mencapai dosis tertentu serta memiliki potensi interaksi dengan obat lain. Interaksi ini dapat berupa saling meniadakan efek, meningkatkan toksisitas dan efek samping, atau sebatas mengganggu penyerapan satu sama lain. Dengan dilakukannya uji klinis, kita dapat menilai efektivitas serta keamanan kombinasi obat baru.

Adapun sebagai peneliti muda yang juga tengah menempuh studi terkait COVID-19, saya tergerak oleh keingintahuan saya mengenai metode uji klinis yang dilakukan oleh tim peneliti Unair. Saya melakukan penelusuran literatur di berbagai sumber namun belum menemukan publikasi ilmiah terkait dengan uji klinis yang dimaksud. Saya juga telah mengirimkan surat elektronik kepada Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Unair, untuk meminta dengan hormat agar publikasi ilmiah uji klinis Unair dapat segera dibagikan kepada para peneliti dan masyarakat luas. Hal ini penting, mengingat di seluruh dunia, riset mengenai COVID-19 baik tentang virus penyebabnya yaitu SARS-Cov-2, perjalanan penyakitnya, serta diagnosis maupun tatalaksananya, sedang mengalami ekskalasi besar-besaran. Setiap harinya, hampir selalu ada artikel ilmiah baru yang terpublikasi. Tanpa publikasi ilmiah, temuan anak bangsa kita akan tenggelam oleh berbagai temuan dari negara lain. Tanpa publikasi ilmiah, klaim dan publikasi di media massa, oleh seorang Profesor sekalipun, tidak memiliki kekuatan apapun dan berpotensi menjadi bumerang. Tanpa publikasi ilmiah, klaim obat penyembuh tidak jauh berbeda dari iklan pengobatan alternatif yang menjanjikan kesembuhan, suatu janji yang pantang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasiennya.

Mengapa publikasi ilmiah sangat penting? Penulisan laporan penelitian dalam artikel ilmiah merupakan satu bentuk komunikasi ilmiah yang paling dapat dipertanggung-jawabkan oleh seorang peneliti. Hal ini dikarenakan, artikel yang terpublikasi sudah melalui berbagai tahap “review” oleh peneliti lain yang kredibel, dinilai valid dari segi metode, hasil, dan berbagai parameter penilaian lainnya. Tidak jarang, artikel ilmiah yang merupakan hasil penelitian selama berbulan-bulan, ditolak langsung oleh jurnal internasional bahkan sebelum masuk review karena hasil penilaian awal yang tidak memenuhi standar.

Dari laporan uji klinis yang sudah terpublikasi di jurnal internasional sekalipun, tidak secara otomatis semuanya bisa dijadikan dasar terapi penyakit oleh seorang dokter. Seorang dokter atau klinisi harus melakukan telaah kritis saat membaca hasil penelitian uji klinis, yaitu dengan menilai validitas, signifikansi secara klinis dan statistik, reliabilitas, serta kemampulaksanaan dari hasil penelitian tersebut. Penilaian keempat parameter tersebut dilakukan dengan mencari jawaban atas beberapa pertanyaan terstruktur di laporan hasil penelitian. Sebuah hasil penelitian hanya dapat dinilai validitas, signifikansi secara klinis dan statistik, reliabilitas, serta kemampulaksanaannya ketika telah terpublikasi secara ilmiah. Tanpa publikasi ilmiah, kita tidak bisa melakukan penilaian tersebut karena metode penelitian tidak diketahui secara lengkap. Mengingat pentingnya proses telaah kritis hasil penelitian, khususnya dalam hal uji klinis yang menyangkut kesembuhan pasien, kita semua tentunya sangat berharap dapat ikut serta mengambil pelajaran dari metode hingga hasil uji klinis oleh tim peneliti Unair.

Adapun keterbukaan metode yang diharapkan dapat terjawab dari publikasi ilmiah oleh tim peneliti Unair antara lain: bagaimana izin etik dan proses rekrutmen subyek penelitian, bagaimana karakter demografis subyek penelitian, bagaimana cara melakukan randomisasi dan blinding, bagaimana manifestasi klinis subyek penelitian sebelum dan sesudah perlakuan, dan apakah peneliti sudah melakukan kontrol terhadap berbagai variabel lain yang mungkin menjadi perancu. Yang tidak kalah penting, kita juga mengharapkan laporan hasil penelitian yang jelas terkait apa saja efek samping obat yang muncul selama penelitian, berapa nilai number needed to treat kombinasi obat ini, apa saja kekurangan dan bias yang mungkin muncul dalam penelitian ini, dan banyak lagi yang karena pembatasan jumlah kata dari tulisan ini, tidak bisa saya sebutkan seluruhnya.  Keterbukaan perihal status publikasi ilmiah uji klinis ini, apakah sudah dikumpulkan ke jurnal internasional, sedang di-review, atau menunggu status publikasi, juga sangat masyarakat nantikan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya memohon dengan hormat, Unair sebagai institusi pendidikan terkemuka di Indonesia, dapat membagikan akses terhadap publikasi ilmiah mengenai uji klinis obat tersebut kepada kami, para peneliti serta masyarakat dunia. Hal ini bukan karena semata-mata ingin menolak hasil penelitian karya bangsa, namun dalam rangka mengkritisi dan memenuhi tanggung jawab moral sebagai dokter dan peneliti. Dengan adanya publikasi ilmiah dari tim peneliti Unair, saya berharap para peneliti lain dapat ikut serta mengkritisi secara santun dalam forum akademis, bukan lagi perang opini di media massa. Saya juga berharap hal ini mampu membuka kesadaran kita semua akan pentingnya keterbukaan terhadap kritik dan esensi menjaga integritas yang merupakan jiwa seorang peneliti.

*) Dokter dan peneliti yang termotivasi oleh provokator penelitian yang bermakna bagi bangsa dan umat manusia: 

https://www.jawapos.com/opini/17/08/2020/inovasi-atau-terjajah-kembali/

Thursday, July 16, 2020

Reason of Wearing Scarf

This morning, I went to Osaka Immigration Office to extend my period of stay in Japan. I submitted my application form together with some documents such as latest photograph, passport, residence card, certificate of scholarship, a seal from my faculty, and research student transcript. I was surprised when the officer asked me to fill in an additional form of statement about my reason of wearing scarf. They said it is necessary since I submitted a photograph that does not show my hair or full part of my head. I was frozen for a while, looking at a piece of paper with blank space to write down my reason.
I threw back to my past when I decided to wear scarf of so called hijab in a committed way. It was in my last year of senior high school. After finishing the final exam, I did not have any formal lesson at school, so every day I just came to school to see my friends and talked about things we wanted to do that time. We were also busy in preparing college entrance.
Before that time, I just wear hijab when I have to, for example, when I am praying, studying Qur'an, or when it was Friday of my junior high school era. At that time, my mom also do the same thing as me. No one pushed me, or even asked me to wear hijab everywhere I go or every time I meet non family members man. Even my family never force me to do so. I also never went to Islamic School where you have to wear full body uniform. I always study in public government school so no school rules that force me to cover my head.
And it just happened easily in 2012, my heart moved. I don't remember what things that moved my heart or my brain to change my behavior in dressing. I just feel it was the perfect time. Fortunately, my uniform skirt is long-designed so I don't need to buy a new one. I just need to add jacket to cover my short sleeve shirt and also a white hijab to cover my head. At that time, my mother still did not wear hijab when she went to work. And she asked me whether I was totally ready and aware of my decision, because she said some girls are not ready yet so they choose to come back (dressing without hijab) after wearing hijab every day. My mother was afraid that I just make a short term decision and become rebel again. But I convinced her, and then she, up till now, decided to use hijab as well.
So go back to the question: the reason to wear hijab
I had no reason back then, I just feel that was the perfect time to start. But after thinking again and again, reading the Qur'an more, I realized that Allah gives us the command clearly to cover our body to protect us and so we are more easily to be recognized.
I do not need another reason. My reason is Allah, and I am a moslem.

Sunday, July 12, 2020

Life after death part 1

Discussing about religion and God is never gonna be a light topic. It's just like this afternoon, when my friend in lab, asked me about what do I believe in Islam. It was a very interesting talk, and maybe she became curious after one day I allowed her to join me to go to prayer room in our campus. No, I do not intend to ask or encourage her into Islam. She just bored and had nothing to do in the afternoon, so I offered her to join me walking to the prayer room. And days after that, we began this conversation (it is not exactly what we talk but the points are the same).

She: You know, in my previous lab where I do so much work with the mice, I sometime think I was like a God.
Me: Eh? Why do you think that way?
She: Because their lives are in my hand. They live in a cage, I can kill them, let them mate, or breed and even change or modify their genetics. But you know, then I think that, what if it turns out that I am the real mice in a cage? Like what if something bigger outside rules me in all the way I live?

Saturday, July 11, 2020

Serpihan ingatan di Eropa

Baru sadar belum sempat menuliskan cerita perjalanan ke benua biru dua tahun silam. Setelah diingatkan oleh Kak dr. Fafa, yang ternyata juga suka nulis blog, aku coba mengais ingatan salah satu Ramadhan paling berkesanku. Pertengahan tahun 2018 lalu, aku dan teman-temanku pergi ke Groningen, Belanda untuk mengikuti konferensi ilmiah. Berbekal abstrak skripsi jaman S1 yang qadarullah diterima untuk presentasi poster, aku untuk pertama kalinya menghadiri sebuah konferensi ilmiah internasional di belahan bumi lain. Waktu itu aku berangkat bersama Nana, Bella, Nadia, Ridha, Rissa, dan Syifa. Berbagai persiapan kami lakukan mulai dari pembuatan poster, mengurus paspor, visa, tiket, itinerary, penginapan, dan lain sebagainya. Alhamdulillah walau ada banyak drama di sana sini, kami berangkat juga!

Setelah kurang lebih 17 jam perjalanan di udara dari Jakarta-Istanbul-Amsterdam ditambah 2 jam perjalanan menggunakan kereta dari Bandara Schipol Amsterdam, sampailah kami di Groningen Central Station. 


Tuesday, July 7, 2020

Sudden or expected death?

Since I became a medical doctor, I started to frequently think about death. Being around hospital makes me familiar with death, some of which are so suddenly happened, while the rests are following a very long painful uncured disease. Long before, I think sudden death is easier, because you don't need to suffer and you will not make your family busy with your disease. I saw so many chronically ill patients that must face their disease alone because they have no close family or just because their family do not really care anymore. Some people have to deal with very intense pain following a cancer, disabilities following an injured limb, or maybe depression following a rare disease without no available cures. I also see parents in their very late age that still have to take care their sick child, or husband that stays beside his sick wife. Some do it willingly and unconditionally, but some others don't. Some take those chances for granted, and just considered the patients' illness as a burden. In fact, taking care of sick patients is not an easy thing to do even for a family member. So I think it will become different if someone dies suddenly. If I suddenly die, no one needs to take care of me, except for my dead body. There will be no such medical cost that have to be spent for my cures and I just go or maybe leave some memories (only if people still remember me).

Tuesday, June 30, 2020

Taniguchi Scholarship

Beasiswa Taniguchi diberikan oleh BIKEN Foundation untuk mahasiswa yang ingin melanjutkan studi postgraduate di Research Institute for Microbial Diseases, Osaka University, Jepang. Sebaiknya teman-teman mengunjungi website http://www.biken.osaka-u.ac.jp/ untuk melihat dulu kira-kira adakah lab yang menarik untuk dijelajahi. Karena, seperti saya bilang sebelumnya, studi postgraduate adalah seputar riset, jadi tidak ada kuliah bareng teman2 di Fakultas melainkan hidup di laboratorium bersama sensei dan researcher lain (plus makhluk renik atau tikus-tikus lucu). Di RIMD, lingkup keilmuan yang ada cukup beragam antara lain: infeksi (virus, bakteri, parasit), kanker, aging, dan imun. 

Tuesday, April 14, 2020

PANDEMI COVID-19 (Coronavirus Disease 2019)

Tulisan ini juga dimuat di 


COVID-19 adalah penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan oleh
virus Corona tipe SARS-CoV-2. Sebagian besar virus Corona menyebabkan infeksi virus ringan yang dapat sembuh sendiri. Namun, terdapat 3 jenis virus Corona yang pernah mewabah dan dapat menyebabkan kematian yaitu: SARS-CoV yang menyebabkan SARS pada tahun 2002 dengan menginfeksi 8.098 orang; MERS-CoV yang menyebabkan MERS tahun 2012 yang menginfeksi 2.494 orang; dan SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 dengan total kasus pertanggal 15 Maret 2020 adalah 156.116 orang. Di Indonesia, terdapat 96 kasus positif, 8 orang sembuh, dan 5 orang meninggal dunia.1

Wednesday, April 1, 2020

Menjadi PhD Candidate

Per tanggal 1 April 2020, statusku resmi berubah dari seorang Research student menjadi Graduate student. Artinya, resmi juga aku menjadi seorang maba (mahasiswa baru) program doktoral tingkat pertama di Graduate School of Medicine, Osaka University (kalau di sini disebut juga D1, tahun depan D2, lalu D3, dst). Ada juga yang menyebutnya sebagai PhD candidate, karena 4 tahun lagi (insyaAllah kalau lancar, Amin) bakal lulus dapat PhD (Philosophy of Doctor), sebuah gelar yang setara dengan pendidikan S3 di Indonesia. Dari dokter, menjadi doktor. Konon menjadi PhD candidate adalah perjuangan mengenal, mendukung, serta melawan diri sendiri. Kenapa demikian?