Wednesday, April 1, 2020

Menjadi PhD Candidate

Per tanggal 1 April 2020, statusku resmi berubah dari seorang Research student menjadi Graduate student. Artinya, resmi juga aku menjadi seorang maba (mahasiswa baru) program doktoral tingkat pertama di Graduate School of Medicine, Osaka University (kalau di sini disebut juga D1, tahun depan D2, lalu D3, dst). Ada juga yang menyebutnya sebagai PhD candidate, karena 4 tahun lagi (insyaAllah kalau lancar, Amin) bakal lulus dapat PhD (Philosophy of Doctor), sebuah gelar yang setara dengan pendidikan S3 di Indonesia. Dari dokter, menjadi doktor. Konon menjadi PhD candidate adalah perjuangan mengenal, mendukung, serta melawan diri sendiri. Kenapa demikian?


Untuk teman-teman yang bertanya aku kuliah pakai bahasa Jepang apa Inggris, ternyata 'kuliah S3' itu tidak ada kuliahnya teman-teman. Kehidupan S3 berkutat pada penelitian, diskusi, presentasi, berhubungan dengan supervisor atau profesor di departemen tempat kita berada, menulis, dan berbagai kegiatan riset lainnya. Tidak ada jadwal kuliah jam 7-15 seperti waktu sekolah dokter dulu. Jadwal hidup lebih banyak kita yang menentukan. Mau ngampus atau tidak, juga tidak betul2 ada absensi yang jelas. Tapi semua kembali lagi ke tanggung jawab kita terhadap pekerjaan di lab yang tentunya harus selesai, baik hadir maupun tidak hadirnya kita. Itulah mengapa, sangat perlu mengenal bagaimana ritme kerja kita sendiri, belajar manajemen waktu, serta disiplin dalam menjalankannya.

Dalam perjalanan riset, banyak jatuh bangun yang terjadi. Entah hasil eksperimen yang kurang memuaskan, supervisor yang demanding alias banyak tuntutan, deadline kelulusan yang menghimpit, dan lain sebagainya. Seringkali, para pejuang PhD merupakan perantau dan tidak lagi memiliki teman atau kegiatan sebanyak anak undergraduate (S1). Dengan jauh dari keluarga, teman, apalagi jika tinggal di negeri orang, kita harus bisa menjadi support system pertama bagi diri kita sendiri. Bagaimana kita memberikan reward atau apresiasi pada diri sendiri dan bersyukur atas apa yang sudah kita capai (meski kadang tidak ada apa-apanya) adalah hal penting dalam menjadi supporter bagi diri sendiri. Harus kenal juga kapan waktu kita produktif, bagaimana cara menghibur diri jika sedih dan suntuk, dan lain sebagainya. Mungkin support dari keluarga dan teman sangat besar pengaruhnya, tapi menurut saya, motivasi internal harus jadi landasan paling kuat jika ingin menempuh studi S3. Tanpanya, akan mudah terjadi putus asa dan ingin berhenti saja, terlebih jika ada masalah di support system eksternal seperti keluarga, teman, maupun supervisor.

Tentu ada saja yang bertanya, kenapa mau sekolah sampai S3? Apa pentingnya gelar pendidikan tinggi, terlebih untuk seorang perempuan? Aku ingat sekali pesan guru mengajiku saat kecil, yang merupakan salah satu imam masjid dekat rumah:

"Salah satu cara bersyukur sudah diberi karunia kemudahan menuntut ilmu, adalah dengan melanjutkan pendidikan setinggi mungkin lantas menjadikan ilmu itu bermanfaat"

Alhamdulillah, Allah sudah baik hati memberikan kemudahan belajar untukku dan aku tidak bermaksud menyianyiakan kemudahan tersebut dengan berhenti belajar. Itulah mengapa aku ingin sekolah tinggi. Tapi aku juga kemudian memahami, bahwa belajar yang sesungguhnya tidak terletak di bangku kuliah atau sekolah tinggi. Belajar paling utama justru ada di universitas kehidupan kita masing-masing. Gelar pendidikan tidak menjadi pembeda mana orang yang lebih baik atau lebih mulia. Mendapat kesempatan sekolah tinggi adalah sebuah privilege, namun tidak menjadikan kita lebih pandai dari orang yang tidak sekolah tinggi.
Sebuah tanda tanya besar justru tiba saat kita telah menuntaskan sekolah tinggi, untuk apa ilmu itu kita gunakan? Apakah ilmu kita bisa memberikan manfaat atau menjawab problem di masyarakat?

No comments:

Post a Comment