Monday, April 18, 2016

Cerita koas part 4: Dari kontra menjadi tidak kontra

Sebelum aku masuk tahap pendidikan profesi alias jadi dek koas, aku seringkali ditanya mau masuk spesialisasi apa. Sedikit bocoran, jika diminta memilih dari empat besar stase mayor salah satu kontraindikasiku adalah anak. Kenapa? Karena aku tidak suka anak yang rewel dan manja, aku juga kadang kesulitan menenangkan anak kecil untuk sekedar diperiksa. Jika memeriksa saja tidak bisa, bagaimana aku bisa jadi dokter anak? Pikirku dulu. Selain itu, aku juga terlalu tidak tega jika harus melihat anak yang sakit parah. Mereka belum berdosa, masih polos, dan harus mendapat derita karena sakitnya. Aku takut aku tidak mampu menghadapi hal itu kelak, sehingga aku mengkontraindikasikan anak sebagai tujuan spesialisasiku nanti...

Setelah masuk stase anak, sebagai stase pertama rotasi mayorku, aku perlahan mengetahui bahwa memang, memeriksa anak itu susah, apalagi kalau sedang sakit atau dia punya keparnoan sendiri sama dokter, yang dikira mau nyuntik atau apalah.. Aku belajar di stase ini, bahwa kita harus bisa mendistraksi anak, dengan awalnya membangun hubungan baik dulu dengannya. Koas anak mungkin perlu mengantongi mainan selain stetoskop dan penlight nya. Koas anak harus bisa masuk ke dunia anak dengan mencoba menyamakan diri dengan mereka. Perlahan aku mengerti bahwa ini bisa dipelajari... Aku juga mulai belajar bagaimana menggendong bayi baru lahir dengan kepala yang empuk dan belum bisa tegak, bagaimana menenangkan tangisannya, bagaimana memberikan susu lewat botol, dan lain sebagainya.. Ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan

Namun, kesedihanku melihat anak-anak dengan penyakit parah masih saja membuatku sedih berlebihan. Apalagi di RSCM, jarang sekali ada pasien anak yang datang karena hanya diare akut dan dehidrasi, atau karena batuk radang tenggorokan... Kalaupun diare, hampir pasti kronis, dan ada HIV nya, kalau pun batuk, pneumonia atau TB yang milier. Di sini juga banyak pasien keganasan, mulai dari kanker darah, sampai kanker hati. Anak-anak yang tak berdosa itu harus menghabiskan masa kecilnya di rumah sakit. Padahal hidupnya masih panjang, ia masih harus punya cita-cita dan mengejarnya sampai dapat. Ingat soal cita-cita, hal itulah yang menguatkanku. Membuatku berpikir bahwa menyelamatkan anak-anak adalah hal yang utama, sama halnya dengan menyelamatkan dunia masa depan. Aku yang awalnya terlalu sedih malah bersemangat untuk memajukan kesehatan anak Indonesia. Aku yang awalnya kontra, menjadi tidak kontra lagi.. Walaupun untuk jadi indikasi masih berpikir pikir lagi...

Monday, April 11, 2016

Cerita koas part 3: Mengapa Stase Anak Menakutkan?

Stase anak di UI terkesan menakutkan bagi sebagian besar koas, karena konon para dosen/konsulen yang saat ujian tidak segan memberikan 'kesempatan' remedial bahkan mengulang stase jika sang mahasiswa memang masih dianggap perlu belajar lebih banyak. Apa yang menjadi sumber ketakutan mahasiswa itu rupanya bukan tanpa alasan.
Seorang guru pasti ingin muridnya lebih baik dari dirinya kelak. Seorang guru yang baik akan mengajarkan yang terbaik, dan tahu kapan harus melepas anak didiknya sendiri dan kapan harus mendampinginya belajar lagi..
Sebuah 'pembelaan' dari seorang dosen/konsulen anak, tentang mengapa ada saja ketidaklulusan di stase anak, adalah karena bagi mereka, kelulusan mahasiswa merupakan suatu tanggung jawab moral sebagai guru dari seorang dokter. Jika mahasiswa yang dididiknya itu belum mampu dilepas sendiri, namun diluluskan, jika suatu saat ia melakukan kesalahan karena kebelummampuannya sebagai dokter, maka sang dosen yang mendidik dan meluluskan tentu memegang peran dan bertanggung jawab atas akibat yang muncul. Akibatnya tentu ada pada pasien, entah itu berupa kesalahan yang tidak diketahui, atau kesalahan yang sampai menimbulkan morbiditas, bahkan mortalitas.
Karena alasan itulah, para dosen/konsulen anak, terkesan 'tega' untuk tidak meluluskan mahasiswa. Wallahu'alam
#psst hari ini aku ujian pasien di RSF, doakan yaa :')