Tuesday, December 8, 2020

Curhat mahasiswa doktoral semester satu

Menjadi researcher di bidang basic science dan bioinformatika bisa dibilang merupakan hal yang sangat baru buatku. Basic science yang kumaksud di sini adalah biologi, lebih spesifiknya lagi adalah mikrobiologi. Sementara bioinformatika, merupakan sebuah cabang ilmu baru yang menjadi perkawinan dari biologi, ilmu komputer, dan statistika. Sedetikpun tidak pernah terbayang saat kuliah dokter dulu akan lanjut di bidang bioinformatika.

Tapi sampai di RIMD yang isinya semua lab basah soal basic science dan lab kering bioinformatika, aku memutuskan bergabung dengan lab kering bioinformatika. Lab basah artinya lab yang betul-betul berbentuk laboratorium untuk eksperimen dengan sel, tikus, virus, bakteri, berbagai reagen-reagen kimia dan alat-alat canggih. Sementara lab kering, bisa dibilang lab komputer, mirip sekali dengan warnet, ada banyak bilik komputer dan seorang researcher yang tengah duduk mengutak atik data. Di kedua bidang itu, aku sama sekali tidak ada pengalaman apapun. Di bangku kuliah dulu, praktikum yang kujalani sebagai mahasiswa FK tidak berfokus pada eksperimen-eksperimen seperti di sini. Paling mentok cuma pernah masuk BSL 3 nya mikrobiologi FKUI, atau bikin pewarnaan gram/BTA, dan praktikum biokimia sederhana. Sementara itu, ilmu komputer yang sudah dipelajari dari SD sampai tamat kuliah juga cuma mentok sampai Ms. Office. Statistika yang kupahami juga sebatas yang dipakai di skripsi dan keluar di UKMPPD. 

Karena menurutku sama-sama mulai dari 0 antara lab kering maupun basah, aku memutuskan bergabung di Lab Bioinformatika yang dipimpin oleh Prof. Daron M. Standley, satu-satunya sensei di RIMD yang bukan orang Jepang. Alasan lainnya adalah karena aku tidak tega jika harus berurusan dengan tikus atau hewan coba lain yang terkadang harus dibuat sakit lalu diekstrak organnya, dsb. Bukan berarti aku tidak mendukung penelitian pada hewan, aku yakin semua itu sudah dilakukan dengan memperhatikan etika penelitian, dan tentunya demi kepentingan umat manusia. Aku hanya tidak kuat hati jika harus melakukannya sendiri. Di samping itu aku berpikir bahwa ilmu bioinformatika merupakan ilmu baru yang masih akan terus berkembang. Bekerja dengan komputer juga ku harap bisa lebih memberikan fleksibilitas dari segi waktu dan tempat, terkait dengan mungkin karir di masa yang akan datang.

Tanpa modal ilmu komputer, statistik ala kadarnya, dan biologi manusia yang lebih ke arah aplikasi klinis, aku semi bonek waktu menuliskan Genome Informatics atau dikenal juga sebagai System Immunology sebagai pilihan tempat risetku selama menjalani studi doktoral 4 tahun ke depan. Struggling? Iya! Kesulitan? Banget. Aku pernah ada di fase semua orang ngomong dan diskusi tapi aku di tengah ngga ngerti apa-apa hahaha... Biasanya waktu jadi dokter dulu (ngga dulu banget sih, baru juga tahun lalu hehe), pekerjaanku tak jauh dari menyapa orang, bertanya kabar, apa yang bisa dibantu, menyelidiki bak detektif ini penyakit apa, memeriksa dengan tangan, mata, telinga, dan segala indera yang kupunya, lalu merumuskan diagnosis, memberi tatalaksana dan edukasi. Bacaan-bacaan jurnal juga mungkin seputar guideline diagnosis serta tatalaksana penyakit. Sementara di sini, tiba-tiba aku harus mendengarkan diskusi soal genome, DNA sequencing, struktur protein, molecular dynamics, 3D modelling, prediksi epitop dari sel limfosit B dan T, melakukan perhitungan statistik dan bikin grafik pakai Python/R, dan lain-lain yang super duper ada di luar kepala (bukan apal tapi belum pernah masuk aja gitu wkwk)

Pernah aku merasa sangat tertinggal, bodoh, dan tak kunjung paham apa yang sedang didiskusikan. Saat itu, tim labku sedang menyusun sebuah paper, dipimpin langsung oleh Daron sebagai PI atau Principle Investigator. Daron mempersilahkanku menjadi first author, itung2 buat latihan katanya. Singkat cerita, paper itu akhirnya lolos review dan terpublikasi di jurnal Frontiers. Saat itu aku merasa tidak pantas untuk menjadi first author karena aku merasa kontribusiku tidak seberapa dan banyak part yang masih tidak aku mengerti. Aku belum bisa mengapresiasi kerja kerasku sendiri sampai di suatu sore, Daron mendapat giliran untuk presentasi di Biken Monthly Seminar. Saat itu ia mempresentasikan proyek lab kami yang sedang banyak berhubungan juga dengan COVID-19. Sebagian dari presentasinya membahas soal paper yang baru saja diterima itu. Kaget bukan main saat di akhir slide itu terpampang begitu nyata fotoku, Hendra, dan Xu. Intinya dia bilang terimakasih atas kerja keras tiga muridnya yang berkontribusi paling besar dalam penyusunan studi tersebut. Aku yang butiran debu ini lantas terketuk. Betapa apresiasi yang dilakukan seorang Profesor bisa sangat berarti. Betapa aku kurang mengapresiasi kerjaku sendiri, sementara Daron dengan senang hati melakukannya. Daron dengan segala kerendahan hatinya, tidak pernah mau dipanggil Prof, Sir, atau Sensei. Dia mau dipanggil Daron. Alhasil tidak ada hierarki di labku. Betapa aku kurang bersyukur sudah dianugerahi PI sebaik dan sehumble Daron.

Nit, jangan lupa bersyukur.

No comments:

Post a Comment