Thursday, August 27, 2020

Untuk Indri, Mamanya Jehan

Izinkan aku, dengan derai air mata rindu yang mengalir deras, menuliskan ini untukmu Ndri, seorang sahabat terbaik yang pernah ku kenal. Selama hampir setengah tahun sejak sebuah pesan singkat masuk dari Gesti (3 Maret 2020):

"Nit, Mbak indri meninggal",

ternyata aku belum sadar penuh bahwa kita tak lagi bisa bersua. Aku masih percaya bahwa kamu sedang ada di samping Jehan, tertawa renyah dan hangat. Sampai pagi ini, aku membaca berbagai pesan dari Mas Adit untukmu Ndri. Iya, laki-laki itu masih sangat amat dan akan terus mencintaimu. Surat-surat Mas Adit menyadarkanku Ndri, bahwa kepergianmu nyata, untuk selamanya. 

Indri, aku minta maaf. Aku tidak ada di sana saat kamu kesakitan. Aku juga tidak kuasa melakukan apapun untuk meringankan sakit dan sesakmu. Aku sering mendengarkan ceritamu, betapa kamu tengah berjuang dengan keras melawan sakitmu. Sakit yang untuk perempuan lain seusia kita, termasuk aku, mungkin tak akan sanggup menghadapinya. Tapi kamu sudah menerimanya dengan tegar Ndri. Kamu begitu semangat untuk bisa bertahan lebih lama, tak hanya demi dirimu sendiri tapi juga demi Jehan, Indri junior yang ku dengar kini sudah sangat luar biasa pintar. Saat aku bertemu Jehan yang saat itu masih sangat kecil, aku bisa melihat kilau cerdas dari sorot matanya. Mirip sekali denganmu, Ndri.

Indri, aku rindu. Aku masih tidak percaya kamu pergi. Aku rindu celotehmu yang berisik namun hangat. Aku rindu tawamu yang kadang meledak demi menertawakan kebodohan kita bersama. Aku rindu saat kamu konsultasi soal kesehatan, dengan semua pertanyaan kritismu. Aku rindu jadi dokter pribadimu. Aku rindu brownies singkong buatan kita. Aku rindu makan rujak buah sama-sama.

Betapa aku egois Ndri, jika aku ingin kamu hidup lebih lama. Allah sudah mengambilmu Ndri. Allah mengakhiri penderitaanmu, memanggilmu kembali keharibaan-Nya. Kamu sudah tak perlu lagi sesak, tak perlu lagi cemas, tak perlu lagi minum obat yang banyak sekali itu. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Terimakasih sudah menginspirasi, kamu adalah sosok mama muda yang kuat dan hebat untuk Jehan serta istri yang luar biasa untuk Mas Adit. Terimakasih sudah mau berteman denganku, bercerita kepadaku, dan sudah percaya padaku, di saat aku sendiri kadang meragukan kemampuanku. Semoga kamu tenang di surga. Amin


Al Fatihah

Sunday, August 23, 2020

Abortus Provokatus part 2

part 1 : https://diadianita.blogspot.com/2019/04/abortus-provokatus.html

Saat itu perasaan saya campur aduk. Di satu sisi saya sungguh tidak bisa menepikan kekesalan saya melihat ulah pasien yang dengan sengaja membunuh janin yang dikandungnya, ditambah dengan cara nya yang tidak aman hingga membahayakan nyawanya sendiri. Di sisi lain saya juga semakin sebal membayangkan ayah dari janin malang tersebut yang namanya telah terukir menjadi tato berbentuk urtikaria di lengan bawah remaja putri malang tersebut. Ah, apa iya dia tahu bahwa anaknya sudah tiada? Atau dia kah yang mengusulkan ini semua? Lari dari tanggungjawab? Berpikir ini hal biasa?
Apa iya tahu bahwa wanitanya kini sedang meregang nyawa? Saya ingin sekali pasien ini selamat dan berharap dengan demikian ia bisa punya kesempatan kedua untuk bisa hidup lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun, kondisinya malam itu benar-benar mengkhawatirkan.
Hingga hari berganti, Mba Tina, bidan jaga IGD yang shift bersamaku saat itu tidak henti melakukan pemantauan tanda vital pasien setiap 30 menit sekali. Semua obat topangan kardio sudah diberikan namun tekanan darahnya tak kunjung membaik. Urinnya juga tak sedikitpun bertambah. Pasien ini lantas masuk ICU demi pemantauan yang lebih baik.
Segala upaya kami lakukan, namun Allah berkehendak lain. Keesokan harinya, pasien tersebut meninggal dunia. Menyisakan kesedihan dan berbagai pertanyaan dari pihak keluarga, mengapa anak remaja itu bisa meninggal padahal sebelumnya baik-baik saja, tidak ada riwayat penyakit berat dan lain sebagainya. Tidak seluruh anggota keluarga mengetahui status kehamilan anak tersebut, apalagi tindakannya yang melakukan aborsi.
Ternyata, remaja ini tidak punya kesempatan kedua ...

Pesan saya cuma satu untuk yang membaca tulisan ini, terutama jika kalian remaja atau yang belum kebayang pembicaraan apa ini semua. Kalau tidak mau merawat anak, tolong jangan membuat anak.

Code Blue

Sore itu IGD tidak terlalu ramai. Hanya ada satu dua pasien yang rencana rawat jalan dan satu dua pasien yang tinggal menunggu waktu kepindahan ke kamar rawat inap. Saya dan kakak-kakak perawat jaga sedang duduk menulis status tanpa terburu sambil sesekali memasukan cemilan ke mulut. Tiba-tiba kami dibuat kaget oleh sebuah teriakan yang berasal dari lobi IGD: "Code bluee!!!!!"

Code blue adalah sebuah kode yang umum digunakan di lingkup fasilitas kesehatan yang artinya ada orang yang henti jantung/henti napas. Henti jantung dan henti napas merupakan kegawatdaruratan yang paling mengancam nyawa, dan penanganan yang tepat serta cepat konon mampu mengembalikan denyut maupun napas pasien, tentunya tergantung juga pada penyakit penyerta yang diderita pasien.
Di RS tempat kami bekerja, pengumuman code blue sudah terintegrasi dari setiap telepon yang ada di RS langsung ke pengeras suara di seluruh sudut RS, sehingga di manapun dokter dan tim code blue berada, bisa langsung merespons dengan datang ke TKP.

Namun sore itu, ada hal yang tidak biasa. Kami mendengar teriakan code blue dari seorang wanita yang berada dari dalam mobil tepat di lobi IGD. Saya berlari menyambar alat bagging, kakak-kakak perawat juga langsung berlari ke lobi dan sebagian membawa brankar. Seorang laki-laki paruh baya yang duduk di kursi samping pengemudi terkulai lemas tidak sadarkan diri, sementara wanita yang berteriak tadi duduk di kursi penumpang belakang. Salah satu perawatku langsung mengambil inisiasi untuk melakukan RJP (resusitasi jantung-paru*) di kursi penumpang sementara tim menyiapkan brankar untuk membawa masuk pasien. Karena posisi yang kurang maksimal untuk melakukan RJP di jok mobil, dalam waktu beberapa detik kami pindahkan pasien tersebut ke atas brankar dan langsung membawanya menuju zona merah IGD sambil tetap melakukan RJP. Secara simultan, tim kami juga mencoba mencari akses intravena serta memasang elektroda yang terhubung pada monitor untuk mengetahui irama jantung pasien. Setelah beberapa siklus kompresi, obat-obatan serta kejut defibrilasi diberikan, pasien ini ROSC, kembali memiliki sirkulasi spontan atau dengan kata lain, jantungnya kembali berdenyut! MasyaAllah

Kami memantau pasien ini dengan seksama selama di IGD, karena bukan tidak mungkin terjadi serangan jantung berulang. Ketika sedang sibuk konsul ke dokter penanggung jawab pasien, yang dalam hal ini dokter spesialis jantung, serta memesan kamar ICU untuk perawatan pasien selanjutnya, saya terkesima melihat pasien tadi sadar, compos mentis, sampai sampai bisa duduk di atas brankar IGD. Pasien paruh baya tersebut berkata ia haus dan juga bisa bercakap dengan keluarganya walau dalam kondisi yang masih cukup lemah. Saya mengingatkan agar keluarga tidak terlalu banyak mengajak pasien berbicara terlebih dahulu agar pasien tersebut dapat beristirahat.
Hal ini menjadi pengalaman pertama yang sangat berharga bagi saya. Beberapa menit sebelumnya, Bapak tersebut tidak sadar, jantungnya berhenti berdenyut sama sekali, dan atas kuasa Allah, ia kini bangun dan terduduk dan bahkan berbicara ingin minum. Allah berikan kesempatan baginya untuk kembali berbincang dengan keluarga. Sebetulnya ini bukan kali pertama pasien tersebut mengalami serangan hingga henti jantung. Beberapa bulan sebelumnya, pasien juga mengalami henti jantung dan setelah dilakukan resusitasi, beliau kembali hidup dan bertahan hingga sekarang. Beliau memiliki,... kesempatan kedua.

Lantas saya berpikir, berapa banyak orang di luar sana yang mati lantas memohon pada Allah untuk diberi kesempatan kedua agar bisa solat, taubat, dan bersedekah, namun tidak lagi dikabulkan? Berapa banyak dari kita yang menyianyiakan kesempatan hidup kita yang hanya satu-satunya ini dengan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan?

*resusitasi jantung paru adalah tindakan melakukan kompresi atau penekanan pada pertengahan dinding dada tepat di atas tulang dada untuk menggantikan sementara fungsi jantung dalam memompa darah ke paru dan seluruh tubuh. kompresi disertai juga dengan memberikan napas buatan.

Wednesday, August 19, 2020

Klaim sebelum publikasi ilmiah, kebebasan pendapat yang bisa jadi bumerang

Sehubungan dengan beredarnya informasi terkait hasil penelitian uji klinis obat kombinasi COVID-19 dari Universitas Airlangga (Unair), kita patut memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada tim peneliti Unair atas capaian yang luar biasa tersebut. Di tengah perang melawan pandemi COVID-19, semua sektor negara sedang berjuang dengan keras, bahu-membahu demi melandaikan kurva angka COVID-19 dan mempertahankan stabilitas ekonomi-politik. Unair sebagai institusi pendidikan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan ini dengan melakukan penelitian uji klinis.   

Meskipun seluruh obat yang digunakan sebagai kombinasi telah rutin dipakai sebagai obat antivirus dan antibakteri, atau dengan kata lain telah ada di pasaran dan “relatif” aman, Unair telah melakukan langkah tepat yaitu melakukan uji klinis terhadap kombinasi obat dan dosis barunya. Hal ini krusial mengingat obat tetap memiliki kadar toksisitas jika mencapai dosis tertentu serta memiliki potensi interaksi dengan obat lain. Interaksi ini dapat berupa saling meniadakan efek, meningkatkan toksisitas dan efek samping, atau sebatas mengganggu penyerapan satu sama lain. Dengan dilakukannya uji klinis, kita dapat menilai efektivitas serta keamanan kombinasi obat baru.

Adapun sebagai peneliti muda yang juga tengah menempuh studi terkait COVID-19, saya tergerak oleh keingintahuan saya mengenai metode uji klinis yang dilakukan oleh tim peneliti Unair. Saya melakukan penelusuran literatur di berbagai sumber namun belum menemukan publikasi ilmiah terkait dengan uji klinis yang dimaksud. Saya juga telah mengirimkan surat elektronik kepada Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Unair, untuk meminta dengan hormat agar publikasi ilmiah uji klinis Unair dapat segera dibagikan kepada para peneliti dan masyarakat luas. Hal ini penting, mengingat di seluruh dunia, riset mengenai COVID-19 baik tentang virus penyebabnya yaitu SARS-Cov-2, perjalanan penyakitnya, serta diagnosis maupun tatalaksananya, sedang mengalami ekskalasi besar-besaran. Setiap harinya, hampir selalu ada artikel ilmiah baru yang terpublikasi. Tanpa publikasi ilmiah, temuan anak bangsa kita akan tenggelam oleh berbagai temuan dari negara lain. Tanpa publikasi ilmiah, klaim dan publikasi di media massa, oleh seorang Profesor sekalipun, tidak memiliki kekuatan apapun dan berpotensi menjadi bumerang. Tanpa publikasi ilmiah, klaim obat penyembuh tidak jauh berbeda dari iklan pengobatan alternatif yang menjanjikan kesembuhan, suatu janji yang pantang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasiennya.

Mengapa publikasi ilmiah sangat penting? Penulisan laporan penelitian dalam artikel ilmiah merupakan satu bentuk komunikasi ilmiah yang paling dapat dipertanggung-jawabkan oleh seorang peneliti. Hal ini dikarenakan, artikel yang terpublikasi sudah melalui berbagai tahap “review” oleh peneliti lain yang kredibel, dinilai valid dari segi metode, hasil, dan berbagai parameter penilaian lainnya. Tidak jarang, artikel ilmiah yang merupakan hasil penelitian selama berbulan-bulan, ditolak langsung oleh jurnal internasional bahkan sebelum masuk review karena hasil penilaian awal yang tidak memenuhi standar.

Dari laporan uji klinis yang sudah terpublikasi di jurnal internasional sekalipun, tidak secara otomatis semuanya bisa dijadikan dasar terapi penyakit oleh seorang dokter. Seorang dokter atau klinisi harus melakukan telaah kritis saat membaca hasil penelitian uji klinis, yaitu dengan menilai validitas, signifikansi secara klinis dan statistik, reliabilitas, serta kemampulaksanaan dari hasil penelitian tersebut. Penilaian keempat parameter tersebut dilakukan dengan mencari jawaban atas beberapa pertanyaan terstruktur di laporan hasil penelitian. Sebuah hasil penelitian hanya dapat dinilai validitas, signifikansi secara klinis dan statistik, reliabilitas, serta kemampulaksanaannya ketika telah terpublikasi secara ilmiah. Tanpa publikasi ilmiah, kita tidak bisa melakukan penilaian tersebut karena metode penelitian tidak diketahui secara lengkap. Mengingat pentingnya proses telaah kritis hasil penelitian, khususnya dalam hal uji klinis yang menyangkut kesembuhan pasien, kita semua tentunya sangat berharap dapat ikut serta mengambil pelajaran dari metode hingga hasil uji klinis oleh tim peneliti Unair.

Adapun keterbukaan metode yang diharapkan dapat terjawab dari publikasi ilmiah oleh tim peneliti Unair antara lain: bagaimana izin etik dan proses rekrutmen subyek penelitian, bagaimana karakter demografis subyek penelitian, bagaimana cara melakukan randomisasi dan blinding, bagaimana manifestasi klinis subyek penelitian sebelum dan sesudah perlakuan, dan apakah peneliti sudah melakukan kontrol terhadap berbagai variabel lain yang mungkin menjadi perancu. Yang tidak kalah penting, kita juga mengharapkan laporan hasil penelitian yang jelas terkait apa saja efek samping obat yang muncul selama penelitian, berapa nilai number needed to treat kombinasi obat ini, apa saja kekurangan dan bias yang mungkin muncul dalam penelitian ini, dan banyak lagi yang karena pembatasan jumlah kata dari tulisan ini, tidak bisa saya sebutkan seluruhnya.  Keterbukaan perihal status publikasi ilmiah uji klinis ini, apakah sudah dikumpulkan ke jurnal internasional, sedang di-review, atau menunggu status publikasi, juga sangat masyarakat nantikan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya memohon dengan hormat, Unair sebagai institusi pendidikan terkemuka di Indonesia, dapat membagikan akses terhadap publikasi ilmiah mengenai uji klinis obat tersebut kepada kami, para peneliti serta masyarakat dunia. Hal ini bukan karena semata-mata ingin menolak hasil penelitian karya bangsa, namun dalam rangka mengkritisi dan memenuhi tanggung jawab moral sebagai dokter dan peneliti. Dengan adanya publikasi ilmiah dari tim peneliti Unair, saya berharap para peneliti lain dapat ikut serta mengkritisi secara santun dalam forum akademis, bukan lagi perang opini di media massa. Saya juga berharap hal ini mampu membuka kesadaran kita semua akan pentingnya keterbukaan terhadap kritik dan esensi menjaga integritas yang merupakan jiwa seorang peneliti.

*) Dokter dan peneliti yang termotivasi oleh provokator penelitian yang bermakna bagi bangsa dan umat manusia: 

https://www.jawapos.com/opini/17/08/2020/inovasi-atau-terjajah-kembali/