Friday, December 27, 2013

Hitam Pu(ti)h Abu

hitam putih abu
hitam putih abu
hitam puith abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu
hitam putih abu

Etiologi, Patogenesis, Faktor Risiko, dan Tatalaksana Kausal Parasit Penyebab Kelainan Hepatobilier

Oleh : Dianita Susilo Saputri (1206207533)

I. Pendahuluan

Gejala ikterus atau kuning pada kulit dan sklera mata akibat hiperbilirubinemia terjadi umumnya karena terdapat kelainan pada sistem hepatobilier. Sistem ini melibatkan hati sebagai organ metabolisme terbesar di tubuh dan juga vesika felea atau kantung empedu yang menampung sekret hati. Penyebab kelainan hepatobilier sangat beranekaragam, salah satunya adalah golongan parasit yang termasuk di dalamnya protozoa dan cacing.

II. Pembahasan

Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica merupakan parasit golongan protozoa yang dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan amebiasis. Sekitar 90% dari infeksi ini bersifat asimptomatik dan 10% sisanya menimbulkan gejala, mulai dari disentri sampai abses pada hati maupun organ lain.1 Faktor risiko dari infeksinya antara lain: kondisi sanitasi, air minum, konsumsi makanan, dan higienitas individu.2 Penyebaran Entamoeba histolytica adalah melalui fecal-oral, di mana infeksinya didapatkan dari ingesti kista dari air atau makanan yang terkontaminasi feces. Kista ini akan mengalami ekskistasi di usus halus dan melepaskan tropozoit yang bersifat motil. Pada sebagian besar pasien, tropozoit tetap menjadi organisme komensalisme di usus besar. Sementara itu, untuk sebagian lain, tropozoit dapat menginvasi mukosa usus dan menyebabkan kolitis simptomatik atau jika masuk di aliran darah, ia akan terbawa menuju organ distal seperti liver, paru-paru, dan jantung untuk membentuk abses. Parasit ini dapat melakukan enkistasi yaitu pembentukan kista kembali untuk menjadi infektif, dan dikeluarkan bersama feces. Pada pasien dengan disentri aktif, enkistasi seringkali tidak terjadi sehingga seringkali masih dapat ditemukan tropozoit histolitika yang motil pada feces segarnya. Tropozoit ini akan cepat terbunuh dengan pajanan ke udara maupun asam lambung, sehingga tidak dapat menjadi bentuk infektif.1



Gambar 1. Siklus Hidup Entamoeba histolytica
Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/images/ParasiteImages/A-F/Amebiasis/Amebiasis_LifeCycle.gif

Baik tropozoit maupun kista dari Entamoeba, keduanya terdapat di lumen intestinal namun hanya tropozoit histolitika yang dapat menginvasi jaringan. Tropozoit berikatan ke mukosa kolon dan sel epitel dengan Gal/GalNAc. Hal ini bisa saja menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding usus. Infeksi intestinal dari Entamoeba meskipun agak jarang, dapat menyebabkan pembentukan lesi masa atau ameboma di lumen usus. Lapisan mukosa yang biasanya tipis dan ditemukan ulser, pada ameboma menjadi tebal, edematosa, dan hemoragik. Kondisi ini menyebabkan pembentukan jaringan granulasi dengan respon jaringan fibrosa. Terkait dengan kemampuannya menginvasi jaringan, terdapat banyak faktor virulensi yang mempengaruhi, salah satunya adalah adanya sistein proteinase ekstraselular yang mendegradasi kolagen, elastin, IgA, IgG, dan anafilaktosin C3a dan C5a. Enzim lain yang dimiliki Entamoeba histolytica dapat merusak ikatan glikoprotein antar sel epitel usus. Ia dapat melisiskan neutrofil, monosit, limfosit, dan menyebabkan apoptosis sel manusia. Efek sitolitik ini tampaknya terjadi dengan adanya kontak langsung dengan sel target dan berhubungan dengan pelepasan fosfolipase A dan peptida pembentuk lubang.1

Infeksi Entamoeba histolytica ekstraintestinal paling sering melibatkan hati (pembentukan abses) yang didahului oleh adanya kolonisasi intestinal yang umumnya asimptomatik. Tropozoit yang menginvasi vena mencapai liver melalui sistem vena portal. Karena sifatnya yang tahan terhadap pertahanan komplemen, tropozoit dapat dengan tenang mencapai liver atau organ distal lain tempat darah membawanya pergi. Inokulasi Entamoeba pada sistem portal menyebabkan infiltrasi selular akut yang didominasi oleh PMN. PMN pun lisis jika berkontak dengan Entamoeba dan melepaskan zat yang menyebabkan nekrosis hepatosit. Parenkim liver kemudian digantikan oleh materi nekrotik dan yang dikelilingi oleh congestied liver tissue. Seringkali isi dari abses ini disebut pasta anchovy dan mengandung debrin granuler bakteri dengan atau tampa sel. Amuba, apabila dapat terlihat akan cenderung ditemukan di dekat kapsul abses.1

Adapun gejala klinis dari abses liver akibat amuba adalah pasien yang febril dan nyeri pada daerah kuadran kanan atas yang dapat menjalar ke pundak. Pada pasien jarang terjadi ikterus, hal ini menunjukkan bahwa metabolisme bilirubin sampai ke ekskresinya masih lancar. Pada pasien yang lebih muda akan lebih cenderung masih ke fase akut dengan gejala yang muncul durasinya kurang dari 10 hari. Pada orang tua, umumnya lebih cenderung ke subakut yang durasinya sampai 6 bulan dan terjadi penurunan berat badan dan hepatomegali.1

Tatalaksana farmakologi untuk abses liver akibat amuba biasanya digunakan metronidazole. Dapat pula digunakan tinidazole dan ornidazole yang memiliki aksi lebih lama dan efektif pada single-dose therapy. Obat-obat ini secara farmakokinetik akan diserap dengan baik pada administrasi oral, terdistribusi luas di jaringan, dan mencapai level serum 4-6 mikrogram/ml setelah pemasukan 250 mg dosis oral. Metronidazole dapat juga diberikan secara intravena dan supositori rektal. Obat ini berpenetrasi dengan baik ke cairan serebrospinal. Metabolismenya terjadi di hati.3 Untuk dosisnya, metronidazole 750 mg selama 5 sampai 10 hari, tinidazole dan ornidazole 2 gram satu kali. Agen terapi kedua sejenis emetine dan chloroquine sebaiknya dihindari karena efek samping kardiovaskular dan gastrointestinal yang potensial. Terdapat tatalaksana abses hati selain obat yaitu dengan aspirasi. Indikasinya adalah ketika dianggap perlu untuk menyingkirkan abses piogenik pada pasien dengan lesi multipel, kurangnya respon klinis pada pemberian obat, dan risiko ruptur ke perikardium.1

Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii merupakan protozoa yang dapat menginfeksi banyak jenis hewan dan juga manusia. Fase yang dapat menyebabkan penyakit adalah fase aseksual, di mana terdapat dua bentuk aseksual Toxoplasma yaitu: tachyzoite dan bradyzoite. Tachyzoite dapat menginvasi seluruh tipe sel dan membelah dengan cepat sehingga menyebabkan kematian sel. Sedangkan bradyzoite membelah dengan lambat dan membentuk kista, seringkali di otot dan otak. Siklus seksualnya terjadi di epitel usus halus. Rute infeksi primernya adalah oral.4 Manusia dapat terinfeksi jika menelan makanan atau air yang terkontaminasi ookista atau dengan memakan daging yang berisi kista jaringan dan tidak dimasak sampai matang.5 Toxoplasma memiliki progresi infeksi melalui traktus gastrointestinal ke sistem limfatik lokal dan menyebar ke organ lain, termasuk otot, jantung, hati, limpa, nodus limfa, dan CNS. Lesi awalnya adalah nekrosis dengan adanya kematian sel yang sudah terkena parasit dan reaksi inflamasi akut yang hebat.4 Di hati, parasit ini berhubungan dengan berbagai perubahan patologis di antaranya hepatomegali, granuloma, hepatitis, dan nekrosis.5

Adapun tatalaksana farmakologi untuk toxoplasmosis adalah kombinasi pryrimethamine dan sulfadiazine. Keduanya menghambat metabolisme folat pada parasit tersebut.4

Schistosoma japonicum

Schistosoma japonicum merupakan cacing golongan trematoda yang dapat menyebabkan schistosomiasis. Variasi lesi yang disebabkan olehnya berhubungan dengan pembentukan granuloma telur dan lokasi terbentuknya. Telur Schistosoma berisi mirasidium yang menyekresikan banyak sekali enzim atau antigen yang menstimulasi respon imun. Antigen ini disebut SEA (soluble egg antigen), dan dapat menginduksi baik imunitas humoral maupun seluler. Pada granuloma telur, ditemukan nekrosis dengan deposisi materi hyalin eosinofilik yang disebut Hoeppli. Nekrosis sentral dan materi eosinofilik perivaskular tersebut akan menurun, dan sel epiteloid menggantikan leukosit. Terbentuklah pseudotuberkel dengan sel datia benda asing mengelilingi telur. Telur yang mati kemudian akan terkalsifikasi.4



Gambar 3. Siklus Hidup Schistosoma sp.
Sumber: http://www.cdc.gov/parasites/images/shistosomiasis/schistomes_lifecycle.gif

Pada infeksi Schistosoma japonicum, lebih dari setengah telur yang diproduksi masuk ke sirkulasi portal dan menginduksi patologi pada hati dan limpa. Venul portal intrahepatik menyemit, dan telur yang masuk ke pembuluh ini akan membentuk granuloma. Hal ini terjadi terutama di triad portal. Granuloma hati terjadi karena telur-telur tersebut menutup sempurna radikal intrahepatik dari venula potal. Dapat terjadi pula endoplebitis akut yang menutup pembuluh lain dengan terbentuknya trombus. Hal ini akan menginduksi hipertensi portal. Jaringan fibrotik pun tumbuh seiring dengan adanya granuloma telur dan pembentukan pseudotuberkel. Vena protal pun turut mengalami fibrosis dan memperparah hipertensi portal. Hipertensi portal yang terjadi adalah intrahepatik dan presinusoidal. Kerusakan parenkim hati akan terjadi ketika penyakit ini sudah semakin parah. Inflamasi hati kronik karena schistosomiasis dapat meningkatkan risiko berkembangnya karsinoma hepatoseluler.4

Adapun faktor risiko dari schistosomiasis adalah sanitasi yang buruk, dan kebiasaan mandi atau berenang di air yang terkontaminasi serkaria infeksius.6 Tatalaksana untuk schistosomiasis antara lain dengan praziquantel. Praziquantel mengalami metabolisme lintas pertama dan metabolitnya inaktif serta disekresikan melalui urin. Absorpsinya akan terpacu dengan adanya lemak dalam lumen usus, namun terhambat apabila terdapat kortikosteroid. Mekanisme aksinya adalah dengan membuat parasit mengalami paralisis.4

III. Penutup

Kelainan pada sistem hepatobilier dapat disebabkan oleh infeksi parasit, misalnya Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, dan Schistosoma japonicum.

IV. Referensi

1. Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 296-5.

2. Duc PP, Nguyen-Viet H, Hattendorf J, Zinsstag J, Cam PD, Odermatt P. Risk factors for Entamoeba histolytica infection in an agricultural community in Hanam province, Vietnam. Parasites & Vectors. 2011;4:102.

3. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. Mc Graw Hill; 2006.

4. Gillespie SH, Pearson RD. Principles and practice of clinical parasitology. 1st ed. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd; 2001. p. 122-9.

5. Esquivel CA, Berumen JLT, Martinez SE, Liesenfeld O, Suarez MFM. Toxoplasma gondii infection and liver disease: a case-control study in a Northern Mexican population. Parasites & Vectors. 2011;4:75.

6. Center for Disease Control and Prevention. Parasites – Schistosomiasis: Epidemiology and risk factors. [series on the internet] cited 2013 December 19. Available from: http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/epi.html

Patogenesis, Patofisiologi, dan Manifestasi Feces Berbau Busuk

Oleh : Dianita Susilo Saputri (1206207533)

I. Pendahuluan

Feces merupakan sisa makanan yang telah mengalami proses pencernaan dan tidak diabsorpsi sehingga dikeluarkan dari tubuh melalui proses defekasi. Karena merupakan residu pencernaan yang juga telah mengalami proses pembusukan di usus besar, feces umumnya berbau khas. Namun, bau ini pada kondisi tertentu dapat menjadi sangat busuk misalnya jika terjadi malabsorpsi akibat infeksi oleh parasit atau mikroba tertentu.

II. Pembahasan

Feces yang berbau busuk dapat terjadi akibat adanya malabsorpsi.1,2,3 Sebagian sumber menyatakan bahwa pada seseorang dengan feces berbau busuk, terjadi malabsorpsi karbohidrat dan protein sehingga produk yang tidak terserap tersebut difermentasi oleh bakteri yang ada di dalam usus dan timbullah bau busuk.1 Sumber lain menyatakan bahwa bau busuk ini disebabkan oleh malabsorpsi lemak yang menjadikan feces berminyak dan berbau busuk.2,3 Sindrom malabsorpsi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang dapat berkaitan baik dengan defek digesti intraluminal, abnormalitas sel mukosa primer, penurunan area permukaan usus halus, obstruksi limfatik, maupun infeksi. Adapun yang paling sering menyebabkan malabsorpsi adalah insufisiensi pankreas, penyakit celiac, dan penyakit crohn.4

· Insufisiensi pankreas terjadi akibat pankreatisis kronik atau cystic fibrosis yang terkait dengan defek digesti intraluminal.4 Karena keterbatasan sarana untuk mencerna inilah makanan yang seharusnya diabsorpsi masih dalam bentuk yang belum siap diserap sehingga terjadi malabsorpsi yang secara patofisiologi akan menimbulkan bau busuk pada feces.

· Penyakit celiac merupakan penyakit kronik di mana terdapat ciri khas lesi mukosa usus halus dan absorpsi nutrien yang terganggu. Penyakit ini disebabkan oleh sensitivitas penderita terhadap gluten, protein gandum yang tidak larut air tapi larut alkohol. Pada biopsi jaringan dapat terlihat adanya diffuse enteritis dengan adanya atrofi atau kehilangan keseluruhan vilus intestinal.4

· Berbeda dengan insufisiensi pankreas dan penyakit celiac, penyakit crohn merupakan salah satu bagian dari inflammatory bowel disease di samping kolitis ulseratif. IBD masih dipertanyakan etiologinya, namun setidaknya dapat dibedakan bahwa penyakit crohn dapat terjadi di seluruh traktus gastrointestinal sedangkan kolitis ulseratif hanya terbatas pada kolon saja.3

Penyebab lain dari terjadinya malabsorpsi sehingga feces berbau busuk adalah adanya infeksi pada saluran cerna.4 Infeksi yang dapat menyebabkan feces berbau busuk salah satunya adalah parasit Giardia lamblia yang menyebabkan giardiasis.5 Mekanisme Giardia dapat menyebabkan diare kronik dan malabsorpsi masih belum banyak didefinisikan. Mayoritas berhubungan dengan kerusakan mukosa dengan mekanisme yang mungkin terjadi, yaitu perlukaan secara langsung oleh tropozoit yang melekat pada brush border, pelepasan produk parasit seperti proteinase atau lektin, dan inflamasi mukosa yang berhubungan dengan aktivasi sel T dan pelepasan sitokin. Mekanisme lain yang menyebabkan malabsorpsi adalah adanya bacterial overgrowth dan dekonjugasi garam empedu yang menghambat kerja enzim hidrolitik pankreas.6 Adapun tanda awal dari Giardiasis adalah nausea yang kemudian diikuti oleh diare encer dan berbau busuk. Feces yang berhubungan dengan infeksi Giardia biasanya banyak, berbusa, berminyak, tanpa darah dan mukus. Gangguan gastrointestinal lain yang juga mungkin dijumpai adalah flatulensi, kembung, anorexia, dan kram. Infeksi giardia juga dapat menyebabkan defisiensi laktase sehingga penderitanya dapat mengalami intoleransi laktosa.7

Selain infeksi Giardia, mikroba lain seperti Clostridium difficile juga dapat menyebabkan feces berbau busuk. Clostridium difficile merupakan bakteri anaerob obligat yang di dalam usus menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan diare dan kolitis pseudomembranosa.5,8 Adapun patogenesis dari infeksi bakteri ini adalah setelah spora toksigeniknya tertelan manusia dan lolos dari keasaman sekret lambung, ia akan tumbuh di usus halus, dan melakukan kolonisasi di saluran cerna bawah serta menghasilkan dua jenis toksin yaitu toksin A yang enterotoksin dan toksin B yang sitotoksin. Toksin tersebut menginisiasi proses perusakan barier sel epitel di usus, diare dan pembentukan pseudomembran.5 Dengan demikian, infeksi Clostridium difficile dapat menyebabkan feces berbau busuk.

Sumber lain menyebutkan bahwa bakteri seperti Escherichia coli, Salmonella, dan Shigella, serta virus seperti rotavirus dan Norwalk virus juga dapat menyebabkan diare dengan bau busuk.10 Infeksi virus pada sistem gastrointestinal baik itu rotavirus maupun Norwalk virus, keduanya menginvasi dan merusak sel epitel yang matur di tengah bagian apeks vilus intestinal sehingga menyebabkan penurunan absorpsi natrium dan air dari lumen usus. Patogenesis hingga menjadi berbau busuk intinya adalah sama, yaitu terdapat malabsorpsi di usus. Sementara itu, untuk Escherichia coli yang memiliki banyak strain atau varietas dalam spesiesnya, patologinya pun berbeda-beda. Enteropathogenic E. coli atau EPEC tidak memproduksi toksin, tetapi menempel pada dinding usus dan menginjeksikan faktor bakteri ke sel host dan menyebabkan perubahan glikokaliks pada sel epitel usus halus (merusak mikrovili). Berbeda dengan EPEC, Enterotoxigenik E. coli atau ETEC berkoloni di usus halus dan memproduksi toksin mirip kolera (heat labile) dan heat stable toxin. Keduanya menstimulasi sekresi klorida oleh sel host sehingga terjadilah diare. Sedangkan EAEC atau Enteroaggregative E. coli memiliki 3 tahap yaitu: penempelan ke mukosa, meningkatkan produksi mukus sehingga terbentuk biofilm, lalu elaborasi sitotoksin yang merusak sel intestinal.11

Dua bakteri lain penyebab feces berbau busuk adalah Shigella dan Salmonella. Shigella merupakan bakteri yang cukup kuat menahan keasaman sekret lambung sehingga setelah masuk via oral ia dapat langsung menuju usus dan bervirulensi di sana. Shigella menempel ke dinding intestinal, berpenetrasi, dan setelah invasi, Shigella melakukan multiplikasi intrasel dan menyebar secara langsung dari sel satu ke sel lain dan menhasilkan kerusakan jaringan. Beberapa strainnya memproduksi enterotoxin (racun Shiga). Berbeda dengan Shigella, Salmonella cukup sensitif dan dapat dibunuh oleh asam lambung, karenanya dibutuhkan Salmonella dalam jumlah besar untuk dapat menghasilkan sakit, tidak seperti Shigella yang sedikit saja sudah bisa menyebabkan sakit. Ketika Salmonella lolos dari keasaman lambung, ia akan menempel ke sel epitel usus halus dan kolon. Bakteri ini akan menginjeksikan protein bakteri dan menyebabkan sel host memakannya. Hebatnya adalah, sel ini mampu bereplikasi di dalam sel host dan kemudian menyebabkannya lisis. Setelah lisis mereka akan keluar ke lingkungan ekstrasel dan masuk ke limfa atau aliran darah dan menyebabkan infeksi sistemik.11

III. Penutup

Feces berbau busuk dapat disebabkan oleh berbagai etiologi seperti insufisiensi pankreas, penyakit celiac, penyakit crohn, dan infeksi berbagai mikroba diantaranya Giardia lamblia, Clostridium difficile, Escherichia coli, Shigella, dan Salmonella.

IV. Referensi

1. Yamada T. Principles of clinical gastroenterology. 1st ed. Chichester: John Wiley & Sons Ltd; 2008. p. 333.

2. Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 50.

3. McPhee SJ, Hammer GD. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 6th ed. China: McGraw-Hill; 2010.

4. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and cotran’s pathologic basis of disease. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2005.

5. Guandalini S. Diarrhea clinical presentation [series on the internet]. 2013 [updated 2013 Oct 14; cited 2013 December 11]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/928598-clinical#showall

6. Farthing MJG. Pathogenesis of giardiasis. 1993. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. (87) p.17-4. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/003592039390531T

7. Bartlett JG, Gerding DN. Clinical recognition and diagnosis of Clostridium difficile infection. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: http://cid.oxfordjournals.org/content/46/Supplement_1/S12.full

8. No author. Intestinal protozoa. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: http://www.tulane.edu/~wiser/protozoology/notes/intes.html

9. Rupnik M. Clostridium difficile: Pathogenesis, diagnosis, and treatment. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: https://www.escmid.org/escmid.../material/?mid...‎

10. Tomulet L. What are the causes of foul-smelling diarrhea? 2010. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: http://www.livestrong.com/article/229267-what-are-the-causes-of-foul-smelling-diarrhea/

11. No author. Infections and intoxications of the intestines diseases. [series on the internet] cited 2013 December 11. Available from: http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/lecture/gi4.htm

Diare dan Diare Berdarah: Etiologi, Faktor Risiko, Patogenesis, dan Patofisiologinya

Oleh : Dianita Susilo Saputri (1206207533)

I. Pendahuluan

Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. Morbiditas dan mortalitas diare masih cukup tinggi dengan insidens yang cenderung naik setiap tahunnya. Masih juga dijumpai kejadian luar biasa (KLB) di beberapa kecamatan di Indonesia. Diare di Indonesia masih menjadi penyebab utama kematian balita. Hal ini dikarenakan tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan.1 Untuk dapat memberikan tatalaksana yang tepat, dibutuhkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan terjadinya diare dan bagaimana mekanismenya. Dengan mengetahui etiologi, faktor risiko, patogenesis, dan patofisiologi diare, diharapkan akan dapat memahami bagaimana diagnosis dan tatalaksana diare yang paling tepat.

II. Pembahasan

Diare yang dalam bahasa awam disebut sebagai mencret, merupakan suatu keadaan di mana pengeluaran sisa pencernaan atau yang disebut defekasi terjadi terlalu cepat atau bersifat terlalu encer. Normalnya, frekuensi defekasi seseorang adalah tiga kali seminggu hingga tiga kali sehari. Penurunan konsistensi atau keenceran feces yang menyebabkan kegawatan atau ketidaknyamanan pada abdomen juga sering dianggap sebagai definisi dari diare.2 Diare dikatakan akut jika terjadi selama kurang dari 2 minggu, persisten jika antara 2 hingga 4 minggu, dan kronik jika lebih dari 4 minggu. Namun, diare tersebut juga harus dibedakan dengan pseudodiare yang memiliki tanda seringnya frekuensi defekasi dengan volume feces yang sedikit (<200 g/d). Pseudodiare lebih sering berhubungan dengan irritable bowel syndrome atau penyakit anorektal seperti proctitis.2,3

1. Etiologi

Diare, khususnya diare akut yang lamanya kurang dari 2 minggu, sebagian besar (90%) disebabkan oleh agen infeksius. Penyebab 10% lainnya bisa jadi beraneka ragam, di antaranya pengobatan, ingesti toksin, ischemia, dan kondisi lain. Agen infeksi penyebab diare biasanya didapatkan dari transmisi fecal-oral, melalui kontak langsung personal atau melalui ingesti makanan dan air yang terkontaminasi oleh patogen dari feces manusia atau hewan yang terinfeksi. Pada infeksi akut, patogen yang masuk dapat mengatasi pertahanan tubuh yang ada pada mukosa saluran cerna seperti asam lambung, enzim pencernaan, sekresi mukus, peristaltik, dan keberadaan flora residen yang dapat menekan pertumbuhan patogen. Adapun jenis patogen yang menyebabkan diare dapat beranekaragam, mulai dari bakteri, virus, protozoa, dan parasit lainnya.3

Di antara sekian banyak agen infeksi penyebab diare, agen yang dapat menyebabkan diare berdarah antara lain Salmonella, Shigella, Campylobacter, EHEC (Enterohemorrhagic Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), Clostridium difficile, Entamoeba histolytica, dan cacing cambuk atau Trichuris trichiura.Perdarahan juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti cytomegalovirus (CMV) yang menyebabkan ulserasi.4

Salmonella sp.

Salmonellosis disebabkan oleh bakteri Salmonella yang berbentuk batang gram negatif. Patogenesis infeksinya, berawal dari ingesti makanan atau air yang terkontaminasi oleh organisme penyebab salmonellosis. Ketika mencapai bagian terminal dari usus halus, Salmonella akan berpenetrasi ke dalam lapisan mukosa usus dan bermigrasi hingga lapisan lamina propria di regio ileocecal. Bakteri tersebut lantas bermultiplikasi di folikel limfoid dan menyebabkan hipertropi dan hiperplasia retikuloendotel. Hal ini mendatangkan PMN dan terjadilah respon inflamasi (pelepasan prostaglandin). cAMP kemudian terstimulasi dan menyebakan sekresi cairan lebih aktif dan terjadilah diare.5

Shigella sp.

Shigella merupakan agen penyebab penyakit disentri. Bentuknya basil dengan sifat gram negatif. Shigella menyerang mukosa kolon, invasif, dan bereplikasi di dalam sel epitel. Multiplikasinya terjadi di sitoplasma, dan bakteri ini mampu memproduksi toksin Shiga yang dapat menimbulkan gejala diare dengan darah dan mukus, demam, nyeri abdominal, dan tenesmus.5

Campylobacter

Bakteri ini merupakan golongan bakteri gram negatif yang saat ini telah dibagi menjadi 3 genera antara lain: Campylobacter, Anobacter, dan Helicobacter. Tidak seluruhnya patogen untuk manusia. Spesies yang patogen diare adalah Campylobacter jejuni dan Campylobacter fetus. Patogenesis infeksi dari Campylobacter jejuni masih belum jelas, namun diperkirakan berhubungan dengan motilitas dan kapasitasnya dalam melekat pada jaringan host. Berbeda dengan hal ini, Campylobacter fetus memiliki struktur kapsul proteinase yang melindunginya dari fagosit dan opsonisasi. Sehingga, ia dapat menyebabkan bacteremia, dan infeksi rekuren pada host yang imunokompromis.5

Eschericia coli

Eschericia coli merupakan flora normal usus berbentuk batang gram negatif yang membantu proses pencernaan di kolon. Namun, ternyata ia memiliki banyak sekali strain di mana sebagian dari anggotanya ada yang bersifat invasif dan menyebabkan diare. Adapun strain yang bersifat demikian adalah EHEC (Enterohemorrhagic Eschericia coli) dan EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli). EHEC terutama serotip 0157 memproduksi verotoxin yang menyebabkan gangguan pada sistem gastrointestinal. Sementara itu EIEC memiliki patogenesis dan manifestasi klinis diare yang mirip dengan Shigella. Ia tidak memproduksi toxin tetapi sifatnya invasif.5

Clostridium difficile

Merupakan bakteri anaerob obligat dengan bentuk batang gram positif. Di dalam saluran gastrointestinal, ia menyekresikan toksin yang dapat menyebabkan diare dan kolitis pseudomembranosa. Ketika spora toksigenik dari Clostridium difficile tertelan, ia akan lolos dari keasaman sekret lambung, tumbuh di usus halus, dan berkoloni di saluran intestinal bawah di mana mereka memproduksi dua toksin yaitu toksin A (enterotoksin) dan toksin B (sitotoksin). Toksin tersebut menginisiasi proses yang merusak barier sel epitel usus, diare, dan pembentukan pseudomembran.5

Entamoeba histolytica

Infeksi akibat protozoa ini disebut amebiasis. Entamoeba histolytica memiliki dua fase hidup: tropozoit dan kista. Kista merupakan fase infektif dari Entamoeba histolytica, di mana jika tertelan ia akanmenjadi salah satu jalan penularannya. Tropozoit merupakan fase patogen, ia dapat menginvasi jaringan dengan cara menempel pada mukosa kolon dan sel epitel menggunakan Gal/GalNAc. Lesi awalnya berupa mikroulserasi dari mukosa cecum, sigmoid, dan epitel.5

Trichuris trichiura

Trichuris yang disebut juga cacing cambuk memiliki tempat hidup di kolon dan cecum. Ribuan telur diproduksi oleh cacing betina dewasa setiap harinya. Telur ini merupakan bentuk infektif cacing cambuk. Jika tertelan, teluar akan menetas di duodenum dan ketika ia telah matur akan bermigrasi ke kolon. Sebagian besar infeksinya tidak bergejala, namun untuk infeksi berat, akan menyebabkan nyeri abdominal, anorexia, dan diare berdarah atau berlendir yang mirip dengan gejala IBD. Pada anak, dapat juga terjadi rectal prolapse.5

Infeksi viral

Rotavirus merupakan salah satu penyebab diare yang lebih banyak menyerang anak-anak. Secara klinis manifestasinya tidak berbeda dari gastroenteritis yang lain. Mekanisme hingga ia dapat menyebabkan diare diketahui melalui beberapa cara yang berbeda di antaranya: malabsorpsi akibat kerusakan enterosit, adanya toksin, perangsangan saraf enterik, dan ischemia pada vilus. Rotavirus tidak ternetralkan oleh asam lambung sehingga ia masuk ke dalam bagian proksimal usus. Virus ini lantas masuk ke sel epitel dengan masa inkubasi sekitar 18-36 jam, di mana pada saat tersebut virus akan menghasilkan enterotoksin NSP-4. Toksin ini akan menyebabkan kerusakan permukaan epitel vili, menurunkan sekresi enzim digesti usus halus, menurunkan aktivitasNa+ kotransporter serta menstimulasi saraf enterik yang menyebabkan diare.6 Selain rotavirus, ada juga virus penyebab diare yang lain di antaranya: caliciviruses, astroviruses, adenoviruses, dan coronaviruses.

Berbeda dengan diare akut, diare kronik berlangsung selama lebih dari 4 minggu. Sebagian besar penyebabnya adalah noninfeksius. Adapun klasifikasi diare kronik didasarkan atas mekanisme patofisiologinya, diantaranya diare sekretori, diare osmotik, diare steatorrheal, diare inflamasi, diare dismotil, dan lain-lain. Diare sekretori terjadi akibat perubahan atau gangguan pada transpor cairan dan elektrolit via mukosa enterokolik. Sementara itu, diare osmotik terjadi jika seseorang mengonsumsi makanan yang sulit diabsorpsi dan aktif osmotik, sehingga sifatnya menarik air menuju lumen dan menurunkan kapasitas reabsorpsi dari kolon. Diare steatorrheal terjadi akibat malabsorpsi lemak. Diare dengan inflamasi juga dapat tergolong diare kronik, di mana terdapat manifestasi inflamasi, nyeri, demam, atau perdarahan. Diare dismotil, disebabkan oleh perpindahan masa feces yang terlalu cepat sehingga sekresi dan absorpsi tidak optimal.3

2. Faktor Risiko

Diare dapat menyerang siapa saja, mulai bayi hingga lanjut usia. Namun, perlu diketahui bahwa terdapat kelompok-kelompok orang yang lebih berisiko untuk terkena penyakit diare. Orang-orang yang suka bepergian misalnya. Hal ini berkaitan dengan adanya regio atau daerah-daerah endemik sehingga muncullah istilah traveler’s diarrhea. Sebagai contoh, di daerah Rusia khususnya St. Petersburg, risiko diare yang berhubungan dengan Giardia meningkat. Berbeda dengan Rusia, Nepal menjadi tempat yang lebih berisiko bagi turis untuk terinfeksi Cyclospora. Namun, hal ini kembali ke mekanisme pertahanan tubuh seseorang terhadap masuknya patogen-patogen tersebut. Kelompok orang kedua setelah yang suka bepergian adalah mereka yang mengonsumsi makanan tertentu seperti seafood mentah yang dikhawatirkan mengandung spesies Vibrio atau Salmonella. Kelompok ketiga adalah mereka yang mengalami imunodefisiensi baik primer maupun sekunder. Imunodefisiensi primer berkaitan dengan defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, dan chronic granulomatous disease. Sedangkan, imunodefisiensi sekunder berhubungan dengan AIDS, usia lanjut, dan supresi farmakologis misalnya pada orang yang telah mengalami operasi transplantasi. Di samping itu, orang yang tinggal serumah dengan penderita diare juga lebih berisiko tertular. Selain menular pada orang-orang yang tinggal satu rumah, diare juga sering menjadi bagian terbanyak dari infeksi nosokominal, sehingga orang yang bekerja di tempat layanan kesehatan akan lebih berisiko terkena diare.3

3. Patogenesis

Diare infeksius, berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi dua sindrom, yaitu: diare infeksius dengan inflamasi dan noninflamasi. Diare infeksius noninflamasi, patogenesis dan patofisiologinya berbeda dari masing-masing etiologi, walaupun beberapa ada yang mirip atau bahkan sama. Berbeda dengan ini, diare infeksius dengan inflamasi akan berakibat pada terjadinya perdarahan. Diare yang berlanjut menjadi diare berdarah dapat disebabkan oleh kolitis infeksi atau inflammatory bowel disease (IBD). Keduanya dapat menunjukkan pola yang mirip, karena kolitis infeksi juga akan menyebabkan inflamasi, dan perubahan signifikan dari kebiasaan usus.4

IBD adalah kelainan inflamasi kronik yang menyerang sistem gastrointestinal dengan etiologi yang belum diketahui. Adapun penyebab terjadinya perdarahan yang paling berhubungan adalah kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif adalah inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa dari kolon dan rektum. Sedangkan penyakit Crohn dapat menyerang seluruh bagian dari traktus gastrointestinal dari mulut hingga anus, dan memiliki karakteristik inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa. Jika inflamasi ini sangat parah atau terdapat ulkus yang hingga sampai di lapisan tempat pembuluh darah berada, maka terjadilah perdarahan.4

4. Patofisiologi

Pada prinsipnya, diare dapat terjadi melalui 2 mekanisme yaitu: abnormalitas fungsi motorik serta abnormalitas transpor cairan dan elektrolit. Gangguan pada motilitas usus tentu akan mempengaruhi pada fungsi lain yaitu absorpsi, sekresi, dan digestinya. Motilitas yang terlalu cepat misalnya akan menyebabkan frekuensi defekasi meningkat dan mengurangi efektivitas absorpsi. Gangguan kedua terletak pada transpor cairan dan elektrolit. Terdapat dua kemungkinan di antaranya sekresi yang berlebih atau absorpsi yang kurang.3

Sementara itu, diare berdarah dapat terjadi dengan patofisiologi sebagai berikut. Gejala pada kolitis infeksi dapat terjadi akibat pengaruh langsung organisme pada mukosa gastrointestinal atau melalui toksin yang diproduksi oleh organisme tersebut. Interaksi antara host dengan mikroorganisme ini menyebabkan kerusakan enterosit atau kematian sel yang menstimulasi respon inflamasi oleh beragam sitokin dan mediator inflamasi yang dilepaskan. Mediator ini mengganggu fungsi normal dan arsitektur usus dalam hal absorpsi dan sekresi. Pada IBD, respon inflamasi akan mendatangkan PMN dan memnyebabkan terjadinya abses pada kriptus. Terjadi kerusakan juga pada brush border sehingga digesti dan absorpsi tidak efektif. Apabila kerusakan terjadi terus menerus akan timbul ulserasi pada epitel dan eksudat kapiler dan limfa yang masuk ke dalam lumen. Inilah yang menimbulkan gambaran klinis diare berdarah.4

III. Penutup

Diare dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan noninfeksi. Faktor infeksi dapat menjadikan diare tersebut disertai inflamasi maupun tidak. Diare akibat infeksi disebabkan oleh ingesti patogen golongan bakteri, parasit, dan virus, yang jika berinteraksi dengan tubuh akan menimbulkan gejala diare.

IV. Referensi

1. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.

2. Yamada T. Principles of clinical gastroenterology. 1st ed. Chichester: John Wiley & Sons Ltd; 2008. p. 304-43.

3. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 224-9.

4. Kim KE. Acute gastrointestinal bleeding. 1st ed. New Jersey: Humana Press; 2003. p. 151-4.

5. Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 228-89

6. Ramig, RF. Pathogenesis of intestinal and systemic rotavirus infection. Journal of Virology 2004; 78(19): 10213-10220.

Intestinum Tenue dan Fisiologi Pencernaan yang Terjadi di Dalamnya

Oleh : Dianita Susilo Saputri

I. Pendahuluan

Nutrisi merupakan kebutuhan primer setiap makhluk hidup. Nutrisi yang diperoleh dari makanan untuk dapat bermanfaat bagi tubuh harus melalui proses pencernaan agar menjadi zat yang lebih sederhana sehingga dapat diserap. Untuk melaksanakan fungsi pencernaan, tubuh manusia telah memiliki sistem organ khusus yang terdiri atas saluran cerna dan kelenjar-kelenjar pencernaan yang mendukungnya. Salah satu saluran cerna yang banyak mengambil peran dalam proses pencernaan makanan adalah usus halus yang disebut juga intestinum tenue.

II. Pembahasan

1. Struktur Anatomi Intestinum Tenue

Gambar 1 Pembagian regio anterior abdominal

Intestinum tenue merupakan saluran pencernaan terpanjang yang dimiliki manusia1, dengan panjang sekitar 6 m pada kadaver atau 3 – 5 m pada orang hidup, dan diameter bervariasi antara 2,5 – 4 cm. Intestinum tenue menempati seluruh regio abdominal kecuali regio hypochondriac dextra dan sinistra.1,2 Secara anatomis, usus halus dibagi menjadi tiga segmen yaitu: duodenum, jejenum, dan ileum.1,2,3
  •  Duodenum, memiliki panjang sekitar 25 cm atau setara dengan lebar 12 jari tangan. Karena itulah, usus ini disebut juga usus dua belas jari. Duodenum adalah bagian terpendek dari intestinum tenue yang berbentuk huruf C mulai dari pylorus gaster hingga bertemu dengan jejenum. Usus yang letaknya retroperitoneal sekunder ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu duodenum superior, descendens, inferior, dan ascendens. Duodenum merupakan muara dari sekret pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan hati, melalui suatu struktur yang disebut ampulla hepatopankreatik dengan bukaan yang disebut papila duodenalis mayor. Sekresi dari getah pankreas maupun empedu melalui struktur ini diatur oleh suatu sphincter yang berupa otot polos.1,2,3
  •  Jejenum, disebut juga usus kosong karena saat seseorang meninggal usus ini akan berada dalam kondisi kosong. Panjangnya sekitar 1 - 2,5 m atau kurang lebih 40% dari keseluruhan panjang intestinum tenue. Jejenum dapat dikatakan letaknya mendominasi regio superior sinistra.1,2,3
  •  Ileum, merupakan bagian terakhir dan terpanjang dari intestinum tenue. Panjangnya mencapai 3,5 m dan berakhir pada katup ileocecal yang menjadi batas ileum dengan cecum dari colon.2 Regio inferior dekstra dari abdomen didominasi oleh struktur ini.
Baik duodenum, jejenum, maupun ileum, ketiganya terletak menggantung pada dinding abdomen posterior melalui struktur mesenterium.1,2 Intestinum tenue selain diatur oleh sistem saraf enterik, juga dipersarafi oleh serat parasimpatik dari n. vagus dan simpatik dari n. thoracic splanknik. Sedangkan vaskularisasinya didapatkan dominan dari a. mesenterika superior. Vena yang berjalan paralel dengan arteri akan bermuara ke v. mesenterika superior. Dari struktur tersebut mengalir darah yang kaya akan nutrisi menuju v. porta hepatika di hati.2

2. Histologi Intestinum Tenue

Intestinum tenue merupakan organ digestif yang paling berperan dalam proses absorbsi nutrisi. Untuk mendukung fungsi tersebut, intestinum tenue mengalami beberapa modifikasi pada dindingnya, yaitu dengan adanya bangunan plica sirkular, vili, dan mikrovili. Plica sirkular merupakan lekukan lapisan mukosa dan submukosa dinding usus ke arah lumen. Plica sirkular terlihat jelas di daerah intestinum proksimal yaitu mulai dari duodenum hingga pertengahan ileum.3,4 Adanya struktur tersebut mempercepat absorpsi dengan meningkatkan luas permukaan usus dan menyebabkan kimus tidak bergerak secara lurus saja melainkan spiral.3 Lebih kecil dari plica sirkular, ialah vili yang merupakan proyeksi lamina propria dari lapisan mukosa menuju lumen usus. Lamina propria tersusun atas kapiler darah, kapiler limfe atau pembuluh lacteal, serabut saraf, serat otot polos dari lapisan muskularis mukosa, dan jaringan ikat longgar ireguler.

Keberadaan serat otot polos mengatur pergerakan vili dan meningkatkan kontak vili dengan makanan yang dicerna. Pada lamina propria juga ditemukan jaringan limfoid dengan sel imun di dalamnya seperti limfosit, sel plasma, eosinofil, makrofag, dan sel mast.4 Jaringan limfoid tersebut berupa nodul limfatik yang dapat berkelompok membentuk Peyer’s Patch.3 Struktur ini dlapisi oleh sel M, yang dapat memfagosit antigen luminal dan mempresentasikannya kepada limfosit dan makrofag di dalam lamina propria. Sementara itu, struktur pendukung fungsi absorpsi usus yang ketiga adalah mikrovili yang merupakan perluasan sitoplasma sel absorpsi yang letaknya di lapisan terluar dinding usus yang menghadap ke lumen. Jika dilihat di bawah mikroskop cahaya, mikrovili menunjukkan struktur berupa brush border karena ukurannya yang sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat secara individual.3,4

Secara histologi, keseluruhan saluran pencernaan atau traktus gastrointestinal tersusun atas empat lapisan yang sama yaitu: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propria, dan muskularis mukosa. Sel epitel permukaan khas di setiap struktur saluran pencernaan sehingga dapat dijadikan alat identifikasi struktur saluran cerna. Intestinum tenue memiliki epitel permukaan selapis silindris dengan sel goblet dan mikrovili.3 Selain sel goblet juga terdapat sel-sel lain yang banyak ditemukan pada struktur kriptus Lieberkuhn, yaitu kelenjar intestinal yang terletak di antara vili usus. Sel tersebut di antaranya:
  • Sel absortif, merupakan sel epitel kolumnar yang terletak di seluruh permukaan intestinum. Sel ini memiliki mikrovili dan mantel glikokaliks yang melindungi mikrovili dari zat kimia yang korosif.4
  • Sel goblet, tersebar di antara sel-sel absortif dan bertugas menyekresikan mukus ke dalam lumen intestinum. Jumlahnya lebih banyak di bagian distal intestinum.3,4
  • Sel enteroendokrin atau APUD (amine precursor uptake and decarboxylation) terdiri atas 3 jenis sel, yaitu: sel S, sel CCK, dan sel K. Sel enteroendokrin menyekresikan hormon sekretin, kolesistokinin, dan GIP (glucose-dependent insulinotropic peptide).3
  • Sel punca, terletak di dasar dari kelenjar intestinal. Sel punca aktif melakukan mitosis dan berfungsi menggantikan sel lain yang rusak.4
  • Sel paneth. Sel ini juga terletak di dasar kelenjar intestinal. Ciri khasnya ialah terdapat granula eosinofilik pada sitoplasmanya. Sel ini menyekresikan lisozim, enzim bakterisidal, dan mampu melakukan fagositosis.3
Khusus untuk lapisan submukosa pada duodenum, dapat ditemukan struktur khas yang disebut kelenjar Brunner. Kelenjar ini menyekresikan mukus basa yang bertugas menetralisir asam lambung.3 

3. Fisiologi Pencernaan yang Terjadi di Intestinum Tenue

Mekanisme dasar fisiologi pencernaan terdiri atas empat hal yaitu: motilitas, sekresi, digesti, dan absorpsi.5 Keempat mekanisme ini juga terjadi di intestinum tenue. Berikut pembahasannya.

Motilitas berhubungan dengan gerakan saluran cerna. Terdapat dua jenis gerakan pada intestinum tenue yaitu segmentasi sebagai gerakan utama dan peristaltik. Segmentasi merupakan suatu gerakan mencampur yang terlokalisasi dan tidak mendorong isi usus untuk bergerak lebih jauh. Gerak ini diinisiasi oleh sel pacemaker intrinsik dalam serat otot sirkular yang kontraksinya membentuk segmen-segmen usus, kemudian otot di bagian tengah segmen tersebut berkontraksi dan batas segmen berelaksasi, dan demikian seterusnya. Gelombang lambat dari sel pacemaker tadi dapat sampai di otot polos lain karena merambat melalui nexus. Pada duodenum, kontraksi ini terjadi 12-14 kali/menit, sementara di ileum 8-9 kali/menit.3,5 Setelah sebagian besar sari makanan telah diabsorpsi, maka segmentasi berkurang dan peristaltik mulai. Gerakan peristaltik usus disebut juga MMC (migrating motility complex). MMC dimulai pada bagian bawah lambung akibat inisiasi dari hormon motilin yang disekresikan oleh mukosa duodenum. MMC mendorong kimus ke arah distal hingga akhir dari ileum (katup ileocecal) dan berlangsung sekitar 90-120 menit dengan kecepatan 0,5 hingga 2 cm/s. Gerak ini berfungsi untuk membersihkan usus halus dari sisa pencernaan yang tidak diabsorpsi, bakteri, epitel yang rusak, debris, dll.3,5

Fungsi intestinum tenue kedua adalah sekresi. Intestinum tenue menyekresikan sekitar 1 hingga 2 liter getah usus, suatu cairan berwarna kuning jernih dan sedikit basa yang mengandung air, mukus. Sekret ini dihasilkan oleh kelenjar brunner sebagai respon terhadap stimulus berupa taktil, vagus, dan hormon sekretin. Sekresi mukus akan dihambat oleh rangsang simpatis. Mukus ini mengandung ion bikarbonat yang bersifat basa, dan berfungsi untuk melindungi dinding duodenum. Selain kelenjar brunner, sel-sel absortif dinding usus juga ikut serta dalam fungsi sekresi dengan menghasilkan enzim yang diletakkannya di membran sel bermikrovili sehingga disebut brush-border enzymes. Enzim-enzim ini nantinya akan berperan dalam proses pencernaan kimiawi dari makanan. Adapun contoh enzimnya antara lain: peptidase, sukrase, maltase, laktase, lipase usus, dan enterokinase.3,5

Sebagian besar proses pencernaan terjadi di dalam intestinum tenue.5 Pencernaan ini merupakan kelanjutan dari proses yang sudah terjadi sebelumnya di rongga mulut maupun lambung. Dengan bantuan dari getah pankreas, cairan empedu, dan sekret usus, pencernaan zat yang sudah dicerna sebagian tersebut dapat selesai di intestinum tenue. Pencernaan karbohidrat misalnya, di mulut dan lambung, pati atau amilum yang merupakan polisakarida telah mulai dipecah oleh amilase menjadi oligosakarida berupa maltosa, maltotriosa,dan α-dekstrin. Untuk menjadi bentuk yang dapat diabsorpsi yaitu monosakarida, perlu dilakukan pemecahan lanjutan oleh enzim α-dekstrinase yang merupakan brush-border enzyme. Sementara itu, pencernaan protein yang sebelumnya telah diawali oleh enzim pepsin di lambung, dilanjutkan dengan adanya protease pankreas (tripsin, chymotrypsin, carboxypeptidase, elastase) dan enzim brush border yaitu aminopeptidase dan dipeptidase. Berbeda dengan pencernaan protein yang hanya dibantu enzim, pencernaan lipid membutuhkan getah empedu untuk emulsifikasi agar luas permukaan lipid meningkat sehingga pencernaan oleh enzim lipase berlangsung lebih efektif.3

Setelah suatu zat mengalami proses pencernaan kimiawi, dihasilkan zat bentuk sederhana yang dapat diabsorpsi. Karbohidrat diabsorpsi oleh sel absortif dalam bentuk monosakarida melalui difusi terfasilitasi (fruktosa) atau transpor aktif sekunder (glukosa dan galaktosa). Sementara itu, absorpsi protein dalam bentuk asam amino/dipeptida/tripeptida dapat terjadi baik dengan transpor aktif maupun transpor aktif sekunder Na+ atau H+. Baik monosakarida maupun asam amino akan masuk secara difusi dari sel epitel absortif menuju kapiler darah. Begitupun asam lemak rantai pendek yang diabsorpsi secara difusi sederhana. Proses ini berbeda pada asam lemak rantai sedang, panjang, dan monogliserida yang molekulnya lebih besar dan hidrofobik. Zat-zat tersebut dalam perjalanannya di intestinum tenue akan dikelilingi oleh garam empedu yang disebut micele. Micele akan bergerak ke mikrovili sel absortif dan di sana, zat yang ada di dalamnya akan berdifusi ke sel absortif, sementara micele tetap tinggal di lumen usus. Setelah berada di dalam sel absortif, monogliserida dan asam lemak rantai panjang akan membentuk trigliserida dan beragregasi dengan fosfolipid, kolesterol, dan protein menjadi strukutr chylomikron. Chylomikron akan meninggalkan sel absortif secara eksositosis dan masuk ke pembuluh lacteal untuk selanjutnya ditranspor via pembuluh limfa ke duktus thoracic dan masuk darah di v. subclavian sinistra.3

Selain menyerap hasil pemecahan makronutrien tubuh, intestinum tenue juga mengabsorpsi elektrolit, vitamin, dan air. Ion-ion seperti ferrum, kalium, magnesium, dan fosfat diabsorpsi dengan transpor aktif. Kalsium juga diserap secara aktif di intestinum tenue dengan bantuan kalsitriol. Berbeda dengan ion yang dominan diserap secara aktif, sebagian besar vitamin diserap secara difusi sederhana. Kecuali B12 yang harus dikombinasikan dengan faktor intrinsik yang dihasilkan oleh lambung untuk dapat diserap usus dengan mekanisme transpor aktif. Sementara itu untuk air, akan masuk ke aliran sistemik secara osmosis melalui dinding usus.3

III. Penutup

Intestinum tenue merupakan saluran pencernaan terpanjang manusia yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Seluruh dindingnya tersusun atas 4 lapisan yaitu: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Fungsi dari intestinum tenue antara lain bergerak baik segmental maupun peristaltik, sekresi getah usus yang berguna untuk pencernaan kimiawi, digesti zat-zat makanan, dan absorpsi zat. Guna mendukung fungsi absorpsinya, dinding usus memiliki modifikasi membentuk plika sirkularis, vili, dan mikrovili. Dengan struktur yang demikian kompleks dan dalam kondisi sehat, intestinum tenue dapat menjalankan fungsi optimal dalam pencernaan zat makanan.

IV. Referensi

1. Marieb EN, Wilhelm PB, Mallatt J. Human anatomy. 6th ed. San Francisco: Pearson Education Inc; 2012. p. 667-688.

2. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of anatomy and physiology. 9th ed. San Francisco: Pearson Education Inc; 2012. p. 883-890.

3. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 13th ed. Asia: John Wiley & Sons; 2011. p. 995-1005.

4. Eroschenko VP. diFiore’s Atlas of histology with functional correlations. 11th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. p. 291-301.

5. Silverthorn DU. Human physiology: An integrated approach. 5th ed. San Francisco: Pearson Education Inc; 2010. p. 686-697.

Macet Nulis

Sudah lama sekali tangan saya vakum menulis di blog ini, site yang awalnya mau saya jadikan tempat menumpahkan semua buah pikiran dan hati saya... Baru saja saya baca blog dokter Piprim, yang menginspirasi saya bahwa menulis itu memang bukan perkara mudah untuk dijaga keberlangsungannya. Untuk itu biarkanlah semua yang ada di otak mengalir ke jemari tangan dan menghasilkan tulisan tanpa tersendat keinginan untuk membuatnya menjadi sangat sempurna di awal. Penyempurnaan itu bisa dilakukan di akhir atau dalam masa pembuatannya.
So,
Keep writing! Yeay!

Sunday, December 1, 2013

citcuit

Haloooo, udah lama saya nggak nulis... Entah mengapa beberapa hari ini sensitivitas jari tangan saya terhadap rasa gatal ingin menulis itu sedikit berkurang... Sampai-sampai sudah ganti modul yang baru, yaitu GASTROINTESTINAL. Yup, kalo denger2nya kebayang sistem pencernaan....that's it.
Sebelumnya aku belajar sistem DERMATOMUSKUKOSKELETAL, yak bisa dibayangkan tulang belulang berdaging yang dibungkus kulit, yap itulah yang kupelajari di modul yang lalu. Kali ini aku belajar tentang nasib makanan yang kita makan kalau bertemu dengan organ dalam tubuh kita ini... Aku berharap di modul ini bisa lebih rajin dan mengatur waktu dengan baik, pasalnya di modul yang lalu aku merasa kelabakan dengan jadwal yang super padat dan sibuk organisasi. Bismillah, doain Nita bisa lewatin modul ini dan inget ama ilmunya sampe jadi dokter nanti ya... Makasi :) Nantika postingan selanjutnyaaaa :D