Malam itu, adalah jadwal jaga malamku yang kesekian kali sebagai dokter internsip di sebuah rumah sakit swasta tipe C di kota kelahiranku. Suasana IGD tampak biasa, tidak sepi dan tidak juga crowded. Semuanya masih aman terkendali. Beberapa kali telepon IGD berdering, entah telepon dari ruangan, apotek, laboratorium, admisi, atau telepon dari Puskesmas dan Klinik yang hendak merujuk pasien ke IGD RS ini. Satu telepon berdering dengan ringtone yang cukup panjang, menandakan ini bukan dari internal RS, kemungkinan besar adalah rujukan. Benar saja, sebuah Puskesmas dari suatu daerah di kabupaten ini hendak merujuk pasien dengan kasus...
...abortus provokatus!
Yap, aborsi disengaja yang dilakukan demi meniadakan kehamilan yang tidak diinginkan. Disebut juga abortus kriminalis karena ini adalah suatu bentuk kejahatan yang juga diatur dalam KUHP, dan berhubungan dengan hilangnya nyawa seorang calon manusia. Seorang remaja putri yang masih belum genap berusia 17 tahun, belum punya KTP, dan belum punya suami, dirujuk karena perdarahan pervaginam serta tekanan darah yang tidak kunjung naik setelah dilakukan resusitasi cairan oleh petugas kesehatan di Puskesmas.
Remaja ini tiba dalam kondisi sadar penuh, bisa diajak komunikasi, mengeluhkan dadanya sesak dan nyeri di bagian perutnya. Ia belum paham bahwa nyawanya sedang terancam karena tekanan darahnya saat itu hanya terpaut di angka 50 mmHg per palpasi setelah masuk resusitasi sebanyak 2 liter cairan intravena di Puskesmas. Aku melihat kantong urin yang tersambung dengan kateter ke saluran kemih remaja ini, sudah terpasang sejak di Puskesmas dan tampak kempis, tak ada urin melainkan hanya di bagian selang. Setelah 2000 ml cuma segini? Dear, It's not a good news.
to be continued
No comments:
Post a Comment