Sunday, September 29, 2019

Welcome to Osaka!

Bismillahirrohmanirrohim,

Hari ini, 29 September 2019 adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di negeri sakura. Aku merantau lagi setelah sempat setahun pulang kampung ke Jember untuk internsip. Di sini, khususnya di Research Institute for Microbial Disease, Osaka University, insyaAllah aku akan melanjutkan studiku di jalur per'riset'an, sebut saja tentang mikrobiologi. Biaya hidup dan kuliahku akan ditanggung oleh beasiswa dari kampus ini yang disebut juga sebagai Taniguchi Scholarship. (mungkin di lain waktu aku akan mencoba membuat sedikit ulasan tentang beasiswa ini, stay tuned ya!)

Mulai hari ini, masih dengan terngiang semua pesan serta salam perpisahan dari keluarga serta teman-teman yang mengantarku ke bandara kemarin, aku bertekad untuk tidak mengecewakan mereka semua. Tentunya ada banyak sekali kecemasan yang terlintas di benakku,
1. kemampuan bahasa Inggris aktifku yang tidak seberapa,
2. ya, bahasa utama di negeri ini adalah bahasa Jepang, tidak banyak orang Jepang yang bisa berbahasa Inggris dan jika bisa belum tentu kita bisa memahami perkataan mereka dikarenakan pronounciation yang terkadang berbeda dengan lidah kita, sementara kemampuan bahasa Jepangku benar-benar masih nol besar (aku sudah bertekad les namun sepertinya selepas jaga malam saat internsip aku lebih memilih istirahat sejenak dari berpikir dan menikmati waktu bersama keluarga),
3. pengalaman riset di laboratorium yang sangat minim (terakhir aku ingat riset di laboratorium mungkin saat praktikum biologi, biokimia, dan mikrobiologi saat masih kuliah preklinik dulu),
4. menjadi minoritas, barangkali terutama dari segi agama di kala terbiasa ada di mayoritas,
5. jauh dari keluarga, bukan tentang aku yang hidup sendiri yang kukhawatirkan, melainkan keluargaku yang ada di sana. Sungguh aku sudah berencana pasti akan pulang ke Indonesia begitu lulus dari program doktoral di sini.

Semua kecemasanku itu, memang seperti sebuah jerat tali yang enggan melepaskan kakiku untuk melangkah, namun aku yakin bahwa selama ada Allah semua akan baik-baik saja.

Onoharahigashi, 29 September 2019

Tuesday, September 10, 2019

Hipertensi: Penyakit Sejuta Umat

Sore itu ada seorang Bapak yang datang ke Poliklinik RS dengan keluhan sakit perut dan diare sejak dua hari. Dengan tidak mengesampingkan masalah di gastrointestinalnya, saya melihat tekanan darah bapak tersebut yang di atas normal. Sang Bapak pun mengaku bahwa beliau memang punya "darah tinggi" dan sering mengukur tekanan darahnya di rumah. Beliau bilang bahwa sehari-hari tensinya bisa mencapai 170-180 an, namun beliau tidak merasakan keluhan apapun sehingga tidak rutin mengonsumsi obat walaupun sudah pernah dianjurkan oleh dokter untuk minum antihipertensi. Beliau hanya minum obatnya saat hendak makan yang berlemak-lemak saja atau merasa pegal-pegal di leher dan sakit kepala.

Fenomena pasien hipertensi yang melakukan "self medication" seperti Bapak tersebut cukup banyak saya temukan. Pasien hipertensi pun seringkali menanyakan apakah obat antihipertensi harus diminum seumur hidup? Apakah darah tinggi bisa disembuhkan? Apakah jika obat tersebut dikonsumsi jangka panjang kelak akan berakibat buruk bagi ginjal? Anggapan bahwa obat-obatan  dapat merusak ginjal dalam waktu lama sudah meluas di masyarakat dan menjadikan para penderita hipertensi enggan untuk mengonsumsi obat karena khawatir ginjalnya rusak.

Bapak, Ibu, dan pembaca sekalian, kali ini saya akan mencoba memberikan sebuah penjelasan mengenai apa itu hipertensi dan berbagai hal menarik di baliknya. Semoga bermanfaat.