Terimakasih sudah mengabulkan doaku sore ini, terimakasih sudah
mengembalikan senyumku yang sekian lama hilang... Namun, saat senyum itu ada,
percaya diriku hilang, sirna, lenyap semua yang ku pikirkan saat bertemu
dengannya... Tak satupun kata yang mampu terucap!
Langit seperti tahu suasana hatiku, ia
tumpahkan air hujan begitu deras di kota ini, menambah kesyahduan sore yang
semendung pikiranku. Sudah lama aku merasakan 'mendung' ini, mendung yang
menyelimuti hatiku sejak dua tahun lalu, sejak perpisahan yang cukup mengagetkan
itu.
Entah mengapa aku merasa ada yang lain
dari diriku, ada yang berbeda dari sebelum kejadian itu terjadi. Mungkin dari
luar aku masih terlihat sama, tapi aku sendiri merasakan ada nyawa yang hilang.
Ada sesuatu yang menguap dari tubuhku ini. Ya, keceriaan, tawa lepas yang dulu
selalu tercipta karena ulahmu! Itulah hal yang hilang. Aku tak pernah lagi
merasakannya setelah pertemuan terakhir kita dua tahun yang lalu, tepatnya saat
aku mengundangmu menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Ellen.
Hari itu sekaligus merupakan hari terakhirku ada di kota ini
sebelum pergi ke ibukota, menempuh ilmu di sana. Kau datang dengan kemeja
kotak-kotak yang aku hafal sekali motifnya. Kau juga masih mengendarai motor
merahmu dan berhelm hitam yang sudah kau kenakan sejak kita pertama kenal saat
masih sekolah dulu. Ah, sungguh rupawan kau Fred! Kaulah sahabat baik yang
sudah membuat banyak perubahan di hidupku. Tak hanya perubahan, kau itu warna!
Ya, kau selalu menjadikan hidupku diwarnai pelangi indah yang tak pernah pudar.
Kau buatku tertawa karena ulahmu! Sungguh Fred, hanya kau yang bisa buatku
tertawa! Tertawa sampai nangis nggak kuat menahan sakit perut! Tertawa lepas
hingga hatiku memang benar-benar tertawa. Ah, rindu sekali aku pada tawa
itu... Tawa yang cuma kau yang bisa
membuatnya. Sudah setahun ini tawa itu
hilang, Fred. Entah, terbawa olehmu. Tawa itu seolah terkubur oleh perpisahan
yang entah pahit atau manis atau apa itu rasanya.
Di hari bahagia Ellen, kau datang memenuhi undangan keluargaku.
Mereka memintaku mengundang teman-teman dekatku. Pasti kuundang kau, Fred!
Karena kau adalah teman dekat bagiku –setidaknya bagiku. Kau datang dengan
santai dan ramah seperti biasa, tak tahu bahwa sedang ada tabuhan keras dalam
jantungku saat kau masuk dan menyapaku. Ya, getar itu masih selalu ada. Ada
untukmu, Fred, seorang yang dulu ku nantikan tapi masih sampai sekarang
kurindukan. Fred, tahukah kau bahwa aku ini pemujamu sejak dulu? Tahukah kau
bahwa aku tak pernah berhenti merindukanmu?
“Ve, kapan kamu nyusul kakakmu?”, pertanyaan sintingmu mulai
terluncur padaku. Sudah tahu kalau baru aja lulus SMA, masa udah mikirin
nikah... Seperti biasa, aku tertawa lalu menjawabmu.
“Sekolah dulu Fred, aku mau jadi insinyur dulu, bikin bangga ortu.
Kalo udah nikah, rempong ngurusin badan eh maksudnya ngurusin suami, ntar ortu
gimanaaa”
“Yah kan kupikir karena udah ada calon, jadi udah tau gitu mau
kapan nyusulnya. Heheheh”, katamu cekikikan.
Aku terdiam tak membalas candaan itu, lantas tersenyum padamu.
Mengisyaratkan aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku ingin bicara
topik lain, bukan yang ini. Kau pun diam dari cekikikanmu. Mungkin sadar akan
hal itu. Lalu kau mulai pembicaraan lain, pembicaraan yang justru membuat
seakan gedung resepsi itu runtuh seketika menimpaku.
“Ve, dulu aku pernah suka sama kamu.”
Jlep, jantungku berhenti, sepersekian detik. Aku merasakannya!
Sungguh. Mungkin karena terlalu kaget mendengar enam kata tajam “dulu aku
pernah suka sama kamu” darimu. Seperti ada guntur yang menyambar dan saking
dahsyatnya membuat runtuh tembok pertahananku. Aku tak percaya, Fred! Siapa
yang bisa menebak kalau wajah bercandamu itu sedang berbicara serius. Setelah
mengumpulkan tenaga aku menjawab sekenanya,
“Hahaha, ini lelucon paling cumel, Fred!”
“Beneran, Ve! Tapi nggak jadi waktu tahu kamu sudah jadian sama Bang
Aldo”.
Ya Tuhan, jangan biarkan aku jatuh pingsan
di depannya hanya karena terlalu kaget mendengar pengakuannya. Ia mengucapkan
itu dengan tenang dan tak tahu apa yang kurasakan! Andai dia tahu, aku...
Runtuh, tak hanya guntur tapi kini gempa! Gempat dahsyat
mengguncang hatiku. Aku berusaha untuk tetap kuat berdiri di atas dua kaki ini.
Berusaha tetap tenang, walau tak bisa. Itulah yang membuatku menyebutnya
sebagai perpisahan yang cukup mengagetkan. Dua tahun lalu Fred, masihkah kau
ingat kata-katamu itu? Kata-kata yang sudah bisa membawa pergi semua senyumanku
seiring pulangmu dari acara malam itu.
***
Malam ini, keluargaku memutuskan untuk makan malam di luar,
mumpung aku di rumah, dan Ellen juga akan datang dengan suaminya nanti malam.
Ayahku yang sudah dari jaman muda dulu ngefans banget sama sate Cak Ri, sudah
pasti ingin makan di sana. Kami (aku dan mama dan juga Ellen dan suaminya) tak
menolak jika malam ini menu makan kami adalah sate. Jadi kami meluncur ke Warung Sate Cak Ri, dan sayangnya kami kecewaaaa....
Tutup! Ah, nggak bisa hanya pulang tanpa makan, maka pindah ke opsi kedua,
wisata kuliner dapur coklat yang menjajakan berbagai menu yang lebih variatif
dibanding sate Cak Ri. Sesampainya di dapur coklat, di parkiran, aku seperti
mengenal sebuah sepeda motor merah dan helm hitam keren. Ya, itu milikmu Fred,
ngga salah lagi! Jadi, setelah dua tahun ngga ketemu, kita ketemu di sini?
Perang, seketika hatiku menjadi medan perang yang beribu kuda berlari di
atasnya hingga menimbulkan detak yang begitu hebat. Keringat dinginku bercucuran,
entah mengapa aku tak mengerti. Tapi aku berusaha menguatkan diri dan masuk,
entah berharap ada atau tak ada dirimu, itu tak pasti.
Sampai di dalam, benar saja, ada kau, Fred. Kau masih sama, masih
setampan dulu. Kau bersama teman-teman SMAmu, yang lalu menggojlokmu habis-habisan!
Kau dan aku bersitatap, entah berapa kilojoule energi kerinduan yang tiba-tiba
menyetrumku.
“Ve, kok bisa kita kebetulan ketemu di sini”, katamu padaku.
Ini mungkin karena doaku di sore yang
mendung tadi, Tuhan mengabulkannya. Seketika turun hujan deras saat aku
mengamini doaku, doa agar aku dipertemukan denganmu Fred, setelah dua tahun aku tak pernah melihatmu..
Aku tak mampu berkata Fred, aku takut tiba-tiba gugup di
hadapanmu. Aku takut tiba-tiba pipiku merah, aku takut kau mendengar degup
jantungku! Aku memilih tak banyak berbicara denganmu, menjawabmu sekenanya,
menyapa teman-temanmu yang sebagian kukenal itu. Aku lantas kembali duduk
dengan keluargaku, berusaha meredam riuh genderang yang ditabuh di hatiku.
Maaf Fred, aku tak seramah dulu. Maafkan aku, kubilang aku tak sekuat
kau, aku lemah! Aku kehilangan semua percaya diriku. Tapi percayalah... Melihat
senyum menawanmu tadi sudah cukup mengembalikan semua senyum dan tawa yang
hilang itu... Terimakasih Fred.
Terimakasih
Tuhan...