Friday, January 31, 2014

Hujan di Malam Imlek

Terimakasih sudah mengabulkan doaku sore ini, terimakasih sudah mengembalikan senyumku yang sekian lama hilang... Namun, saat senyum itu ada, percaya diriku hilang, sirna, lenyap semua yang ku pikirkan saat bertemu dengannya... Tak satupun kata yang mampu terucap!

Langit seperti tahu suasana hatiku, ia tumpahkan air hujan begitu deras di kota ini, menambah kesyahduan sore yang semendung pikiranku. Sudah lama aku merasakan 'mendung' ini, mendung yang menyelimuti hatiku sejak dua tahun lalu, sejak perpisahan yang cukup mengagetkan itu.

Entah mengapa aku merasa ada yang lain dari diriku, ada yang berbeda dari sebelum kejadian itu terjadi. Mungkin dari luar aku masih terlihat sama, tapi aku sendiri merasakan ada nyawa yang hilang. Ada sesuatu yang menguap dari tubuhku ini. Ya, keceriaan, tawa lepas yang dulu selalu tercipta karena ulahmu! Itulah hal yang hilang. Aku tak pernah lagi merasakannya setelah pertemuan terakhir kita dua tahun yang lalu, tepatnya saat aku mengundangmu menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Ellen.

Hari itu sekaligus merupakan hari terakhirku ada di kota ini sebelum pergi ke ibukota, menempuh ilmu di sana. Kau datang dengan kemeja kotak-kotak yang aku hafal sekali motifnya. Kau juga masih mengendarai motor merahmu dan berhelm hitam yang sudah kau kenakan sejak kita pertama kenal saat masih sekolah dulu. Ah, sungguh rupawan kau Fred! Kaulah sahabat baik yang sudah membuat banyak perubahan di hidupku. Tak hanya perubahan, kau itu warna! Ya, kau selalu menjadikan hidupku diwarnai pelangi indah yang tak pernah pudar. Kau buatku tertawa karena ulahmu! Sungguh Fred, hanya kau yang bisa buatku tertawa! Tertawa sampai nangis nggak kuat menahan sakit perut! Tertawa lepas hingga hatiku memang benar-benar tertawa. Ah, rindu sekali aku pada tawa itu...  Tawa yang cuma kau yang bisa membuatnya. Sudah setahun  ini tawa itu hilang, Fred. Entah, terbawa olehmu. Tawa itu seolah terkubur oleh perpisahan yang entah pahit atau manis atau apa itu rasanya.

Di hari bahagia Ellen, kau datang memenuhi undangan keluargaku. Mereka memintaku mengundang teman-teman dekatku. Pasti kuundang kau, Fred! Karena kau adalah teman dekat bagiku –setidaknya bagiku. Kau datang dengan santai dan ramah seperti biasa, tak tahu bahwa sedang ada tabuhan keras dalam jantungku saat kau masuk dan menyapaku. Ya, getar itu masih selalu ada. Ada untukmu, Fred, seorang yang dulu ku nantikan tapi masih sampai sekarang kurindukan. Fred, tahukah kau bahwa aku ini pemujamu sejak dulu? Tahukah kau bahwa aku tak pernah berhenti merindukanmu?

“Ve, kapan kamu nyusul kakakmu?”, pertanyaan sintingmu mulai terluncur padaku. Sudah tahu kalau baru aja lulus SMA, masa udah mikirin nikah... Seperti biasa, aku tertawa lalu menjawabmu.

“Sekolah dulu Fred, aku mau jadi insinyur dulu, bikin bangga ortu. Kalo udah nikah, rempong ngurusin badan eh maksudnya ngurusin suami, ntar ortu gimanaaa”

“Yah kan kupikir karena udah ada calon, jadi udah tau gitu mau kapan nyusulnya. Heheheh”, katamu cekikikan.

Aku terdiam tak membalas candaan itu, lantas tersenyum padamu. Mengisyaratkan aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku ingin bicara topik lain, bukan yang ini. Kau pun diam dari cekikikanmu. Mungkin sadar akan hal itu. Lalu kau mulai pembicaraan lain, pembicaraan yang justru membuat seakan gedung resepsi itu runtuh seketika menimpaku.

“Ve, dulu aku pernah suka sama kamu.”

Jlep, jantungku berhenti, sepersekian detik. Aku merasakannya! Sungguh. Mungkin karena terlalu kaget mendengar enam kata tajam “dulu aku pernah suka sama kamu” darimu. Seperti ada guntur yang menyambar dan saking dahsyatnya membuat runtuh tembok pertahananku. Aku tak percaya, Fred! Siapa yang bisa menebak kalau wajah bercandamu itu sedang berbicara serius. Setelah mengumpulkan tenaga aku menjawab sekenanya,

“Hahaha, ini lelucon paling cumel, Fred!”

“Beneran, Ve! Tapi nggak jadi waktu tahu kamu sudah jadian sama Bang Aldo”.

Ya Tuhan, jangan biarkan aku jatuh pingsan di depannya hanya karena terlalu kaget mendengar pengakuannya. Ia mengucapkan itu dengan tenang dan tak tahu apa yang kurasakan! Andai dia tahu, aku...

Runtuh, tak hanya guntur tapi kini gempa! Gempat dahsyat mengguncang hatiku. Aku berusaha untuk tetap kuat berdiri di atas dua kaki ini. Berusaha tetap tenang, walau tak bisa. Itulah yang membuatku menyebutnya sebagai perpisahan yang cukup mengagetkan. Dua tahun lalu Fred, masihkah kau ingat kata-katamu itu? Kata-kata yang sudah bisa membawa pergi semua senyumanku seiring pulangmu dari acara malam itu.

***

Malam ini, keluargaku memutuskan untuk makan malam di luar, mumpung aku di rumah, dan Ellen juga akan datang dengan suaminya nanti malam. Ayahku yang sudah dari jaman muda dulu ngefans banget sama sate Cak Ri, sudah pasti ingin makan di sana. Kami (aku dan mama dan juga Ellen dan suaminya) tak menolak jika malam ini menu makan kami adalah sate. Jadi kami meluncur ke Warung Sate Cak Ri, dan sayangnya kami kecewaaaa.... Tutup! Ah, nggak bisa hanya pulang tanpa makan, maka pindah ke opsi kedua, wisata kuliner dapur coklat yang menjajakan berbagai menu yang lebih variatif dibanding sate Cak Ri. Sesampainya di dapur coklat, di parkiran, aku seperti mengenal sebuah sepeda motor merah dan helm hitam keren. Ya, itu milikmu Fred, ngga salah lagi! Jadi, setelah dua tahun ngga ketemu, kita ketemu di sini? Perang, seketika hatiku menjadi medan perang yang beribu kuda berlari di atasnya hingga menimbulkan detak yang begitu hebat. Keringat dinginku bercucuran, entah mengapa aku tak mengerti. Tapi aku berusaha menguatkan diri dan masuk, entah berharap ada atau tak ada dirimu, itu tak pasti.

Sampai di dalam, benar saja, ada kau, Fred. Kau masih sama, masih setampan dulu. Kau bersama teman-teman SMAmu, yang lalu menggojlokmu habis-habisan! Kau dan aku bersitatap, entah berapa kilojoule energi kerinduan yang tiba-tiba menyetrumku.

“Ve, kok bisa kita kebetulan ketemu di sini”, katamu padaku.

Ini mungkin karena doaku di sore yang mendung tadi, Tuhan mengabulkannya. Seketika turun hujan deras saat aku mengamini doaku, doa agar aku dipertemukan denganmu Fred, setelah dua tahun aku tak pernah melihatmu..

Aku tak mampu berkata Fred, aku takut tiba-tiba gugup di hadapanmu. Aku takut tiba-tiba pipiku merah, aku takut kau mendengar degup jantungku! Aku memilih tak banyak berbicara denganmu, menjawabmu sekenanya, menyapa teman-temanmu yang sebagian kukenal itu. Aku lantas kembali duduk dengan keluargaku, berusaha meredam riuh genderang yang ditabuh di hatiku.


Maaf Fred, aku tak seramah dulu. Maafkan aku, kubilang aku tak sekuat kau, aku lemah! Aku kehilangan semua percaya diriku. Tapi percayalah... Melihat senyum menawanmu tadi sudah cukup mengembalikan semua senyum dan tawa yang hilang itu... Terimakasih Fred.

Terimakasih Tuhan...

No comments:

Post a Comment