Kamis, 27 Desember 2012 adalah hari
pertamaku menjadi relawan di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Awalnya aku
datang ke sana dengan sebuah beban tugas modul yang rasanya ingin cepat-cepat
kuselesaikan. Dengan membawa lembaran log book yang sudah di print dari SceLe
[Student Centered Learning Environment] itu, aku dan teman-teman B4 yang
mendapat jatah di sesi dua, telah hadir di RSCM pukul 8.00 WIB sesuai dengan
jadwal kami. Setelah mengisi presensi dan menunggu kurang lebih dua jam, kami
mengikuti orientasi yang memang harus kami ikuti karena masih baru kali pertama
menjadi relawan di RSCM. Aku dan teman- teman dibawa berkeliling lingkungan
RSCM yang luas itu oleh Ibu Ros yang baik dan ramah. Perjalanan dimulai dari
lobby tepatnya di customer care, tempat kami berkumpul menuju ke tempat
informasi dan registrasi. Dari sana masuk ke kanan, menuju beberapa poliklinik
yang letaknya di lantai satu. Lalu menyusuri jalan sampai-sampai kami juga
melewati rumah singgah, departemen psikiatri, tempat geriatri, RSCM kirana, dan
masuk ke RSCM Kencana. Di sepanjang jalan saat orientasi, Aku dan teman-teman
mencoba menghafalkan jalan-jalan yang telah ditunjukan. Meskipun masih belum
100% paham dan ingat, kami setidaknya telah mendapat gambaran nyata tentang
peta yang kita punyai dan pelajaran tentang bagaimana nanti kita menghadapi
pasien yang membutuhkan. Dari orientasi saja, aku sudah mendapatkan pelajaran,
bahwa dengan luasnya RSCM dan penuhnya pengunjung di dalamnya, menandakan bahwa
tenaga kesehatan memang sangatlah dibutuhkan di negeri ini. Karenanya kita
sebagai mahasiswa FK atau dengan kata lain calon tenaga kesehatan yang
sebenarnya di kemudian hari, harus bersungguh- sungguh belajar dan
mempersiapkan diri untuk menjadi dokter yang baik di masa yang akan datang.
Pasien 1 - Ibu Kiki
Setelah usai orientasi, aku dan teman-
teman mengenakan rompi relawan RSCM berwarna putih yang telah dipakai oleh
teman- teman dari sesi satu. Rompi yang kami pinjam dari ruang Badan Eksekutif
Mahasiswa atau BEM ini kami gunakan sebagai identitas agar pasien dapat
membedakan dan tidak salah menilai kami. Dengan rompi kebesaran ini aku dapat
dengan jelas memperkenalkan bahwa kami adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran
dari Universitas Indonesia yang menjadi relawan di RSCM sehingga pasien atau
pengunjung tidak keberatan untuk kami bantu. Awalnya aku sempat merasa canggung
dengan keadaan yang ada. Melihat begitu banyak pengunjung RSCM yang berlalu
lalang, entah pasien, keluarga, karyawan, maupun dokter-dokter berjas putih
itu, Aku sampai bingung sendiri dan berharap nanti bisa lancar ketika mengantar
pengunjung ke tempat tujuannya. Ketika masih diliputi rasa bingung itu,
tiba-tiba seorang ibu muda berusia 35 tahun yang tak kalah bingungnya denganku
dan terlihat terburu-buru menghampiriku dan temanku, Bella. Ibu tadi menanyakan
di mana letak kantin, sebab sudah membuat janji dengan seorang dokter yang
dikenalnya untuk bertemu dan berkonsultasi tentang penyakitnya di kantin yang
letaknya dekat dengan Gedung A. Kemudian dengan senang hati langsunglah aku
mengantar Ibu Kiki namanya, yang saat itu juga sedang bersama dengan suami dan
kakak laki-lakinya. Ketika dalam perjalanan mengantar Ibu Kiki ke kantin itu
aku mendapat pelajaran bahwa komunikasi adalah hal yang sangat penting.
Bagaimana cara kita berbicara serta menanggapi komunikasi non verbal dari
seseorang akan menentukan apakah ia akan nyaman bersama kita atau justru
sebaliknya. Kita harus bisa bersikap ramah agar pengunjung tidak segan untuk
kita bantu. Perasaanku setelah bisa mengantar Ibu Kiki ke kantin sangat senang
sebab Ibu Kiki bisa sampai juga ke tempat tujuannya dan merasa sangat terbantu.
Dari sinilah, beban tugas yang awalnya kurasakan tadi mulai menguap karena
merasakan bahwa kesenangan adalah ketika dapat menolong orang lain dan orang
tersebut pun senang. Demikian juga rasa canggung yang sedari tadi ada karena
belum terlalu hafal dengan jalanan RSCM juga mulai pudar karena masih ada banyak
jalan untuk menemukannya, misalkan dengan kita bertanya dengan satpam atau
melihat plang yang ada di lorong- lorong RSCM. Di samping itu, aku semakin
mengerti bahwa rasa empati itu harus kita punyai termasuk ketika dalam
berkomunikasi. Pengunjung RSCM, apalagi pasien yang datang dan kebingungan
haruslah kita bantu, setidaknya kita bisa meringankan beban pikiran mereka
untuk menemukan tempat berkunjungnya yang paling tepat. Dengan berbicara tidak
dengan kata kasar atau nada tinggi, tentunya kita telah membantu dengan tidak
menambah beban bagi si pasien.
Pasien 2 - Bapak
Syahrian
Usai mengantar pasien pertama, aku dan
Bella kembali bersiaga. Kali ini kami menunggu di depan UPPJ [Unit Pelayanan
Pasien Jaminan]. Pasien kedua yang Aku antar adalah sepasang suami istri yang
sudah cukup tua. Sang Bapak bernama H. Syahrian dan berusia 72 tahun. Bapak
Syahrian dan istrinya baru saja keluar dari Ruang UPPJ, tempat administrasi
mengurus jaminan yang dapat meringankan pembayaran biaya berobat atau
konsultasi di RSCM ini. Bapak Syahrian dan istrinya rupanya ingin menuju ke
apotek yang ada di lantai dua untuk mengambil suatu obat. Setelah aku
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud tujuanku ada di sana, beliau
bersedia ku antar. Ketika sampai di depan lift, terlihat gerombolan pengunjung
yang cukup banyak dan sang istri memutuskan untuk naik tangga saja yang tidak
terlalu jauh dari lift. Di sini aku mendapat pelajaran bahwa dalam hidup ini
kita tidak boleh terlalu memanjakan tubuh kita karena justru yang demikian itu
[memanjakan tubuh dengan jarang berolah raga atau malas bergerak] akan
berakibat kurang baik bagi kesehatan. Suami istri yang sudah sama- sama sepuh
itu saja mau naik ke lantai dua dengan menggunakan tangga. Mereka bilang,
sambil sekalian berolah raga dan agar tidak terlalu lama mengantri serta
berdesakan dalam lift.
Sampai di lantai dua, kami dengan cepat
dapat menemukan apotek yang di dalamnya tidak juga sepi namun tetap teratur.
Namun, karena ramainya itu, kami tidak mendapatkan tempat duduk yang kosong.
Lantas istri Pak Syahrian mengantri untuk mengambil obat sementara aku dan
Bella mengobrol dengan Bapak Syahrian. Rupanya istri Pak Syahrian yang
sebenarnya sedang sakit. Beliau mengidap penyakit diabetes dan sudah lama
sekali. Sepertinya memang sang istri rajin sekali berobat dan menjaga
kesehatannya agar penyakit diabetesnya itu tidak kambuh dan mengganggu. Aku
kagum dengan pasangan ini, karena di usia yang sudah cukup tua itu mereka masih
selalu saling setia menemani dan menjaga pola hidup sehat. Banyak nasihat yang
Bapak Syahrian berikan kepadaku. Beliau juga berkomentar tentang adanya relawan
RSCM ini, bahwa sudah bagus dan sangat membantu pasien. Pak Syahrian berharap
agar tetap dipertahankan dan kalau bisa ditingkatkan lagi. Aku sangat senang
karena dapat membantu Pak Syahrian. Dari pesan dan komentar beliau aku mendapat
pelajaran bahwa sebaik-baiknya kita, tidak boleh langsung puas dengan apa yang
sudah kita punyai, kita harus tetap meningkatkannya agar menjadi semakin baik.
Pasien 3 - Bapak Adam
Setelah selesai mengantar Pak Syahrian dan Istrinya, Aku dan
Bella kembali bersiaga dan kali ini kami berada di lobi sebelah dalam. Dari
situ aku bertemu dengan seorang Bapak yang menggunakan alat bantu berjalan,
bersama dengan istrinya dan rekan istrinya. Bapak ini bernama Bapak Adam. Sang
istri yang nampaknya sedang kebingungan menanyakan kepada kami di mana tempat
Kemo. Namun rupanya keluarga ini baru pertama kali datang berobat ke RSCM,
sehingga belum mengurus soal jaminan lalu kuarahkan mereka menuju UPPJ guna
mendapatkan jaminan yang merupakan hak mereka. Sesampainya di UPPJ yang ramai
itu, beruntung ada seorang bapak muda yang baik hati sehingga merelakan tempat
duduknya untuk Pak Adam. Lalu istri Pak Adam mengantri dan aku menemani Pak
Adam selagi menunggu sang istri selesai mengantri. Sebagai relawan RSCM aku
bertugas hanya mengantar dan menemani, tidak diperbolehkan intervensi lebih
jauh apalagi memberikan suatu keputusan tentang pasien yang kutemani. Demikian
juga pesan dari kakak angkatku yang sudah lebih dulu mengawali menjadi relawan
di RSCM ini. Ia berkata bahwa jangan sampai kita mengintervensi terlalu jauh,
karena itu bukan porsi kita. Karenanya, aku membiarkan sang istri mengantri dan
mengurus semuanya, sementara aku dan
Bella menemani Pak Adam agar beliau tidak sendirian. Di sana kami berbincang- bincang. Rupanya Pak
Adam ini bisa berbahasa Italia, dan setelah kami menanyakan dengan
berhati-hati, takut menyinggungnya, Pak Adam mengaku bahwa beliau terkena
kanker colon atau usus besar sehingga perlu untuk menjalani kemoterapi ke rumah
sakit ini. Pak Adam memang sudah cukup tua dan rambutnya pun sudah memutih,
namun semangatnya masih sangat tinggi. Beliau tidak nampak sedang menderita
penyakit selevel kanker usus besar. Matanya bersinar cerdas dan selalu
tersungging senyum tawa di bibirnya. Aku kagum dengan Pak Adam karena
semangatnya yang tak juga pudar meski penyakit menggerogoti tubuhnya. Mungkin
orang lain tidak setegar beliau jika mengetahui bahwa dirinya mengidap kanker
di salah satu bagian tubuhnya. Di usianya yang ke 64 tahun itu Pak Adam
ditemani sang istri harus berjuang melawan penyakitnya. Namun, aku yakin
seorang Pak Adam pasti kuat karena semangatnya sendiri yang sangat tinggi dan
berapi- api. Pelajaran yang aku dapatkan di sini adalah kita tidak boleh patah
semangat. Kita tidak boleh kalah dengan penyakit, apalagi kita calon dokter
yang diminta untuk membantu orang lain mengalahkan penyakitnya. Semangat itulah
yang bisa membuat kita hidup. Di sini aku juga belajar bagaimana berempati
dengan seorang pengidap kanker yang sudah berumur, namun beruntung beliau
memiliki seorang istri yang sangat setia menemaninya terutama saat-saat berobat
ke rumah sakit seperti ini. Aku senang sekali dapat membantu Pak Adam dan tak
terasa, rasa canggung maupun beban tugas modul empati yang pagi tadi Aku emban
kini sudah hilang dan tak terasa lagi.
Pasien 4 - Ibu Marlies
Kali
ini kami menunggu di lobi bagian depan, dekat customer care. Di sana ada pusat
informasi dan tempat pendaftaran bagi pasien baru. Lalu ada seorang ibu berbaju
hijau yang sudah cukup tua, umurnya tidak jauh dengan Pak Syahrian, hanya
terpaut satu tahun lebih muda. Ibu ini bernama Bu Marlies, dan beliau adalah
orang asli Bengkulu yang tinggal di Jakarta. Ibu Marlies tampak senang saat kami
bantu. Ibu Marlies yang lulusan pendidikan akuntansi itu datang ke RSCM dengan
maksud akan mengikuti tes menguji kelupaan di poli neurologi. Ibu Marlies
adalah seorang pasien baru, sehingga ia harus melakukan registrasi terlebih
dahulu dan hari itu Ibu Marlies harus mengurus jaminan jika ingin dilakukan
tindakan terhadap dirinya. Kemudian, Aku antarlah Ibu Marlies ke UPPJ. Ketika
Aku menanyakan bagaimana pembayarannya, Bu Marlies menjawab bahwa beliau
menggunakan jaminan Asuransi Kesehatan atau Askes. Lalu setelah masuk ruangan
UPPJ, Aku antar Ibu Marlies untuk ke counter askes. Di sana sudah siap petugas yang akan
membuatkan SJP, semacam lembaran yang mengesahkan bahwa pasien membayar dengan
jaminan. Namun, sesampainya di counter tersebut, petugas counter malah menolak
membuat SJP karena tanggal yang tertera dalam surat rujukan Ibu Marlies adalah
tanggal 10 Januari 2013. Jaminan dibuat hanya untuk pengobatan di hari itu
juga. Lalu, Ibu Marlies entah mengapa begitu ingin agar ia dapat mengurus
segala urusan administrasinya hari ini agar ketika tanggal 10 Januari 2013
nanti beliau datang dan langsung dapat ditangani tanpa harus mengantri di sana
sini mengurusi administrasi lagi. Sayang sekali, Ibu Marlies harus mengurungkan
niatnya sebab dalam peraturan rumah sakit ini sudah begitu adanya. Sepertinya
beliau sedikit kecewa setelah bolak- balik dari informasi ke UPPJ dan ke bagian
registrasi, beliau tidak mendapat yang diinginkannya. Namun, beliau akhirnya
dapat memahami setelah aku dan petugas yang ada mencoba menjelaskan kepada
beliau. Beliau memang orang yang sangat ulet, terlihat dari caranya mewujudkan
keinginannya itu, beliau menjelaskan kepada petugas dan mengatakan
keinginannya, namun tak juga dikabulkan terbentur dengan peraturan. Aku
mendapat banyak pelajaran juga dari Ibu yang ramah ini. Meski sudah cukup tua,
Ibu Marlies yang datang seorang diri ke rumah sakit sebesar ini tidak lelah
maupun mengeluhkan apa-apa selain keinginannya itu yang memang menjadi
tujuannya untuk datang ke RSCM pada hari itu. Ibu Marlies kemudian berpesan
kepada Aku dan teman Aku agar kami yang dinilainya sangat ramah dan perhatian
ini tetap mempertahankan sikap ini sampai nanti menjadi dokter. Karena menurut
penilaian Ibu Marlies, banyak dokter yang tidak seramah mahasiswa. Aku senang
sekali mendapat wejangan tersebut dari Ibu Marlies dan akan Aku camkan baik-
baik dalam benak Aku bahwa seorang dokter harus tetap mengedepankan empati,
dapat memposisikan diri sebagaimana menjadi seorang pasien yang perasaannya
ingin dimengerti.
***
Demikianlah tadi, sekilas cerita pengalamanku
menjadi relawan di RSCM dan juga refleksi diri, tentang diriku yang awalnya
demikian berubah karena merasakan indahnya menolong orang dan Aku sangat
beruntung semua itu difasilitasi juga oleh FKUI dengan adanya modul EBP3KH atau
modul empati ini. Harapanku adalah agar ilmu yang ada dapat kuaplikasikan dan
bermanfaat bagi orang lain khususnya pasien-pasienku nantinya.Di upload sebagai tugas modul EBP3KH1
No comments:
Post a Comment