Friday, December 27, 2013

Etiologi, Patogenesis, Faktor Risiko, dan Tatalaksana Kausal Parasit Penyebab Kelainan Hepatobilier

Oleh : Dianita Susilo Saputri (1206207533)

I. Pendahuluan

Gejala ikterus atau kuning pada kulit dan sklera mata akibat hiperbilirubinemia terjadi umumnya karena terdapat kelainan pada sistem hepatobilier. Sistem ini melibatkan hati sebagai organ metabolisme terbesar di tubuh dan juga vesika felea atau kantung empedu yang menampung sekret hati. Penyebab kelainan hepatobilier sangat beranekaragam, salah satunya adalah golongan parasit yang termasuk di dalamnya protozoa dan cacing.

II. Pembahasan

Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica merupakan parasit golongan protozoa yang dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan amebiasis. Sekitar 90% dari infeksi ini bersifat asimptomatik dan 10% sisanya menimbulkan gejala, mulai dari disentri sampai abses pada hati maupun organ lain.1 Faktor risiko dari infeksinya antara lain: kondisi sanitasi, air minum, konsumsi makanan, dan higienitas individu.2 Penyebaran Entamoeba histolytica adalah melalui fecal-oral, di mana infeksinya didapatkan dari ingesti kista dari air atau makanan yang terkontaminasi feces. Kista ini akan mengalami ekskistasi di usus halus dan melepaskan tropozoit yang bersifat motil. Pada sebagian besar pasien, tropozoit tetap menjadi organisme komensalisme di usus besar. Sementara itu, untuk sebagian lain, tropozoit dapat menginvasi mukosa usus dan menyebabkan kolitis simptomatik atau jika masuk di aliran darah, ia akan terbawa menuju organ distal seperti liver, paru-paru, dan jantung untuk membentuk abses. Parasit ini dapat melakukan enkistasi yaitu pembentukan kista kembali untuk menjadi infektif, dan dikeluarkan bersama feces. Pada pasien dengan disentri aktif, enkistasi seringkali tidak terjadi sehingga seringkali masih dapat ditemukan tropozoit histolitika yang motil pada feces segarnya. Tropozoit ini akan cepat terbunuh dengan pajanan ke udara maupun asam lambung, sehingga tidak dapat menjadi bentuk infektif.1



Gambar 1. Siklus Hidup Entamoeba histolytica
Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/images/ParasiteImages/A-F/Amebiasis/Amebiasis_LifeCycle.gif

Baik tropozoit maupun kista dari Entamoeba, keduanya terdapat di lumen intestinal namun hanya tropozoit histolitika yang dapat menginvasi jaringan. Tropozoit berikatan ke mukosa kolon dan sel epitel dengan Gal/GalNAc. Hal ini bisa saja menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding usus. Infeksi intestinal dari Entamoeba meskipun agak jarang, dapat menyebabkan pembentukan lesi masa atau ameboma di lumen usus. Lapisan mukosa yang biasanya tipis dan ditemukan ulser, pada ameboma menjadi tebal, edematosa, dan hemoragik. Kondisi ini menyebabkan pembentukan jaringan granulasi dengan respon jaringan fibrosa. Terkait dengan kemampuannya menginvasi jaringan, terdapat banyak faktor virulensi yang mempengaruhi, salah satunya adalah adanya sistein proteinase ekstraselular yang mendegradasi kolagen, elastin, IgA, IgG, dan anafilaktosin C3a dan C5a. Enzim lain yang dimiliki Entamoeba histolytica dapat merusak ikatan glikoprotein antar sel epitel usus. Ia dapat melisiskan neutrofil, monosit, limfosit, dan menyebabkan apoptosis sel manusia. Efek sitolitik ini tampaknya terjadi dengan adanya kontak langsung dengan sel target dan berhubungan dengan pelepasan fosfolipase A dan peptida pembentuk lubang.1

Infeksi Entamoeba histolytica ekstraintestinal paling sering melibatkan hati (pembentukan abses) yang didahului oleh adanya kolonisasi intestinal yang umumnya asimptomatik. Tropozoit yang menginvasi vena mencapai liver melalui sistem vena portal. Karena sifatnya yang tahan terhadap pertahanan komplemen, tropozoit dapat dengan tenang mencapai liver atau organ distal lain tempat darah membawanya pergi. Inokulasi Entamoeba pada sistem portal menyebabkan infiltrasi selular akut yang didominasi oleh PMN. PMN pun lisis jika berkontak dengan Entamoeba dan melepaskan zat yang menyebabkan nekrosis hepatosit. Parenkim liver kemudian digantikan oleh materi nekrotik dan yang dikelilingi oleh congestied liver tissue. Seringkali isi dari abses ini disebut pasta anchovy dan mengandung debrin granuler bakteri dengan atau tampa sel. Amuba, apabila dapat terlihat akan cenderung ditemukan di dekat kapsul abses.1

Adapun gejala klinis dari abses liver akibat amuba adalah pasien yang febril dan nyeri pada daerah kuadran kanan atas yang dapat menjalar ke pundak. Pada pasien jarang terjadi ikterus, hal ini menunjukkan bahwa metabolisme bilirubin sampai ke ekskresinya masih lancar. Pada pasien yang lebih muda akan lebih cenderung masih ke fase akut dengan gejala yang muncul durasinya kurang dari 10 hari. Pada orang tua, umumnya lebih cenderung ke subakut yang durasinya sampai 6 bulan dan terjadi penurunan berat badan dan hepatomegali.1

Tatalaksana farmakologi untuk abses liver akibat amuba biasanya digunakan metronidazole. Dapat pula digunakan tinidazole dan ornidazole yang memiliki aksi lebih lama dan efektif pada single-dose therapy. Obat-obat ini secara farmakokinetik akan diserap dengan baik pada administrasi oral, terdistribusi luas di jaringan, dan mencapai level serum 4-6 mikrogram/ml setelah pemasukan 250 mg dosis oral. Metronidazole dapat juga diberikan secara intravena dan supositori rektal. Obat ini berpenetrasi dengan baik ke cairan serebrospinal. Metabolismenya terjadi di hati.3 Untuk dosisnya, metronidazole 750 mg selama 5 sampai 10 hari, tinidazole dan ornidazole 2 gram satu kali. Agen terapi kedua sejenis emetine dan chloroquine sebaiknya dihindari karena efek samping kardiovaskular dan gastrointestinal yang potensial. Terdapat tatalaksana abses hati selain obat yaitu dengan aspirasi. Indikasinya adalah ketika dianggap perlu untuk menyingkirkan abses piogenik pada pasien dengan lesi multipel, kurangnya respon klinis pada pemberian obat, dan risiko ruptur ke perikardium.1

Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii merupakan protozoa yang dapat menginfeksi banyak jenis hewan dan juga manusia. Fase yang dapat menyebabkan penyakit adalah fase aseksual, di mana terdapat dua bentuk aseksual Toxoplasma yaitu: tachyzoite dan bradyzoite. Tachyzoite dapat menginvasi seluruh tipe sel dan membelah dengan cepat sehingga menyebabkan kematian sel. Sedangkan bradyzoite membelah dengan lambat dan membentuk kista, seringkali di otot dan otak. Siklus seksualnya terjadi di epitel usus halus. Rute infeksi primernya adalah oral.4 Manusia dapat terinfeksi jika menelan makanan atau air yang terkontaminasi ookista atau dengan memakan daging yang berisi kista jaringan dan tidak dimasak sampai matang.5 Toxoplasma memiliki progresi infeksi melalui traktus gastrointestinal ke sistem limfatik lokal dan menyebar ke organ lain, termasuk otot, jantung, hati, limpa, nodus limfa, dan CNS. Lesi awalnya adalah nekrosis dengan adanya kematian sel yang sudah terkena parasit dan reaksi inflamasi akut yang hebat.4 Di hati, parasit ini berhubungan dengan berbagai perubahan patologis di antaranya hepatomegali, granuloma, hepatitis, dan nekrosis.5

Adapun tatalaksana farmakologi untuk toxoplasmosis adalah kombinasi pryrimethamine dan sulfadiazine. Keduanya menghambat metabolisme folat pada parasit tersebut.4

Schistosoma japonicum

Schistosoma japonicum merupakan cacing golongan trematoda yang dapat menyebabkan schistosomiasis. Variasi lesi yang disebabkan olehnya berhubungan dengan pembentukan granuloma telur dan lokasi terbentuknya. Telur Schistosoma berisi mirasidium yang menyekresikan banyak sekali enzim atau antigen yang menstimulasi respon imun. Antigen ini disebut SEA (soluble egg antigen), dan dapat menginduksi baik imunitas humoral maupun seluler. Pada granuloma telur, ditemukan nekrosis dengan deposisi materi hyalin eosinofilik yang disebut Hoeppli. Nekrosis sentral dan materi eosinofilik perivaskular tersebut akan menurun, dan sel epiteloid menggantikan leukosit. Terbentuklah pseudotuberkel dengan sel datia benda asing mengelilingi telur. Telur yang mati kemudian akan terkalsifikasi.4



Gambar 3. Siklus Hidup Schistosoma sp.
Sumber: http://www.cdc.gov/parasites/images/shistosomiasis/schistomes_lifecycle.gif

Pada infeksi Schistosoma japonicum, lebih dari setengah telur yang diproduksi masuk ke sirkulasi portal dan menginduksi patologi pada hati dan limpa. Venul portal intrahepatik menyemit, dan telur yang masuk ke pembuluh ini akan membentuk granuloma. Hal ini terjadi terutama di triad portal. Granuloma hati terjadi karena telur-telur tersebut menutup sempurna radikal intrahepatik dari venula potal. Dapat terjadi pula endoplebitis akut yang menutup pembuluh lain dengan terbentuknya trombus. Hal ini akan menginduksi hipertensi portal. Jaringan fibrotik pun tumbuh seiring dengan adanya granuloma telur dan pembentukan pseudotuberkel. Vena protal pun turut mengalami fibrosis dan memperparah hipertensi portal. Hipertensi portal yang terjadi adalah intrahepatik dan presinusoidal. Kerusakan parenkim hati akan terjadi ketika penyakit ini sudah semakin parah. Inflamasi hati kronik karena schistosomiasis dapat meningkatkan risiko berkembangnya karsinoma hepatoseluler.4

Adapun faktor risiko dari schistosomiasis adalah sanitasi yang buruk, dan kebiasaan mandi atau berenang di air yang terkontaminasi serkaria infeksius.6 Tatalaksana untuk schistosomiasis antara lain dengan praziquantel. Praziquantel mengalami metabolisme lintas pertama dan metabolitnya inaktif serta disekresikan melalui urin. Absorpsinya akan terpacu dengan adanya lemak dalam lumen usus, namun terhambat apabila terdapat kortikosteroid. Mekanisme aksinya adalah dengan membuat parasit mengalami paralisis.4

III. Penutup

Kelainan pada sistem hepatobilier dapat disebabkan oleh infeksi parasit, misalnya Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, dan Schistosoma japonicum.

IV. Referensi

1. Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 296-5.

2. Duc PP, Nguyen-Viet H, Hattendorf J, Zinsstag J, Cam PD, Odermatt P. Risk factors for Entamoeba histolytica infection in an agricultural community in Hanam province, Vietnam. Parasites & Vectors. 2011;4:102.

3. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. Mc Graw Hill; 2006.

4. Gillespie SH, Pearson RD. Principles and practice of clinical parasitology. 1st ed. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd; 2001. p. 122-9.

5. Esquivel CA, Berumen JLT, Martinez SE, Liesenfeld O, Suarez MFM. Toxoplasma gondii infection and liver disease: a case-control study in a Northern Mexican population. Parasites & Vectors. 2011;4:75.

6. Center for Disease Control and Prevention. Parasites – Schistosomiasis: Epidemiology and risk factors. [series on the internet] cited 2013 December 19. Available from: http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/epi.html

1 comment: