Oleh : Dianita Susilo Saputri (1206207533)
I. Pendahuluan
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. Morbiditas dan mortalitas diare masih cukup tinggi dengan insidens yang cenderung naik setiap tahunnya. Masih juga dijumpai kejadian luar biasa (KLB) di beberapa kecamatan di Indonesia. Diare di Indonesia masih menjadi penyebab utama kematian balita. Hal ini dikarenakan tatalaksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan.1 Untuk dapat memberikan tatalaksana yang tepat, dibutuhkan pengetahuan mengenai apa yang menyebabkan terjadinya diare dan bagaimana mekanismenya. Dengan mengetahui etiologi, faktor risiko, patogenesis, dan patofisiologi diare, diharapkan akan dapat memahami bagaimana diagnosis dan tatalaksana diare yang paling tepat.
II. Pembahasan
Diare yang dalam bahasa awam disebut sebagai mencret, merupakan suatu keadaan di mana pengeluaran sisa pencernaan atau yang disebut defekasi terjadi terlalu cepat atau bersifat terlalu encer. Normalnya, frekuensi defekasi seseorang adalah tiga kali seminggu hingga tiga kali sehari. Penurunan konsistensi atau keenceran feces yang menyebabkan kegawatan atau ketidaknyamanan pada abdomen juga sering dianggap sebagai definisi dari diare.2 Diare dikatakan akut jika terjadi selama kurang dari 2 minggu, persisten jika antara 2 hingga 4 minggu, dan kronik jika lebih dari 4 minggu. Namun, diare tersebut juga harus dibedakan dengan pseudodiare yang memiliki tanda seringnya frekuensi defekasi dengan volume feces yang sedikit (<200 g/d). Pseudodiare lebih sering berhubungan dengan irritable bowel syndrome atau penyakit anorektal seperti proctitis.2,3
1. Etiologi
Diare, khususnya diare akut yang lamanya kurang dari 2 minggu, sebagian besar (90%) disebabkan oleh agen infeksius. Penyebab 10% lainnya bisa jadi beraneka ragam, di antaranya pengobatan, ingesti toksin, ischemia, dan kondisi lain. Agen infeksi penyebab diare biasanya didapatkan dari transmisi fecal-oral, melalui kontak langsung personal atau melalui ingesti makanan dan air yang terkontaminasi oleh patogen dari feces manusia atau hewan yang terinfeksi. Pada infeksi akut, patogen yang masuk dapat mengatasi pertahanan tubuh yang ada pada mukosa saluran cerna seperti asam lambung, enzim pencernaan, sekresi mukus, peristaltik, dan keberadaan flora residen yang dapat menekan pertumbuhan patogen. Adapun jenis patogen yang menyebabkan diare dapat beranekaragam, mulai dari bakteri, virus, protozoa, dan parasit lainnya.3
Di antara sekian banyak agen infeksi penyebab diare, agen yang dapat menyebabkan diare berdarah antara lain Salmonella, Shigella, Campylobacter, EHEC (Enterohemorrhagic Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), Clostridium difficile, Entamoeba histolytica, dan cacing cambuk atau Trichuris trichiura.Perdarahan juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti cytomegalovirus (CMV) yang menyebabkan ulserasi.4
Salmonella sp.
Salmonellosis disebabkan oleh bakteri Salmonella yang berbentuk batang gram negatif. Patogenesis infeksinya, berawal dari ingesti makanan atau air yang terkontaminasi oleh organisme penyebab salmonellosis. Ketika mencapai bagian terminal dari usus halus, Salmonella akan berpenetrasi ke dalam lapisan mukosa usus dan bermigrasi hingga lapisan lamina propria di regio ileocecal. Bakteri tersebut lantas bermultiplikasi di folikel limfoid dan menyebabkan hipertropi dan hiperplasia retikuloendotel. Hal ini mendatangkan PMN dan terjadilah respon inflamasi (pelepasan prostaglandin). cAMP kemudian terstimulasi dan menyebakan sekresi cairan lebih aktif dan terjadilah diare.5
Shigella sp.
Shigella merupakan agen penyebab penyakit disentri. Bentuknya basil dengan sifat gram negatif. Shigella menyerang mukosa kolon, invasif, dan bereplikasi di dalam sel epitel. Multiplikasinya terjadi di sitoplasma, dan bakteri ini mampu memproduksi toksin Shiga yang dapat menimbulkan gejala diare dengan darah dan mukus, demam, nyeri abdominal, dan tenesmus.5
Campylobacter
Bakteri ini merupakan golongan bakteri gram negatif yang saat ini telah dibagi menjadi 3 genera antara lain: Campylobacter, Anobacter, dan Helicobacter. Tidak seluruhnya patogen untuk manusia. Spesies yang patogen diare adalah Campylobacter jejuni dan Campylobacter fetus. Patogenesis infeksi dari Campylobacter jejuni masih belum jelas, namun diperkirakan berhubungan dengan motilitas dan kapasitasnya dalam melekat pada jaringan host. Berbeda dengan hal ini, Campylobacter fetus memiliki struktur kapsul proteinase yang melindunginya dari fagosit dan opsonisasi. Sehingga, ia dapat menyebabkan bacteremia, dan infeksi rekuren pada host yang imunokompromis.5
Eschericia coli
Eschericia coli merupakan flora normal usus berbentuk batang gram negatif yang membantu proses pencernaan di kolon. Namun, ternyata ia memiliki banyak sekali strain di mana sebagian dari anggotanya ada yang bersifat invasif dan menyebabkan diare. Adapun strain yang bersifat demikian adalah EHEC (Enterohemorrhagic Eschericia coli) dan EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli). EHEC terutama serotip 0157 memproduksi verotoxin yang menyebabkan gangguan pada sistem gastrointestinal. Sementara itu EIEC memiliki patogenesis dan manifestasi klinis diare yang mirip dengan Shigella. Ia tidak memproduksi toxin tetapi sifatnya invasif.5
Clostridium difficile
Merupakan bakteri anaerob obligat dengan bentuk batang gram positif. Di dalam saluran gastrointestinal, ia menyekresikan toksin yang dapat menyebabkan diare dan kolitis pseudomembranosa. Ketika spora toksigenik dari Clostridium difficile tertelan, ia akan lolos dari keasaman sekret lambung, tumbuh di usus halus, dan berkoloni di saluran intestinal bawah di mana mereka memproduksi dua toksin yaitu toksin A (enterotoksin) dan toksin B (sitotoksin). Toksin tersebut menginisiasi proses yang merusak barier sel epitel usus, diare, dan pembentukan pseudomembran.5
Entamoeba histolytica
Infeksi akibat protozoa ini disebut amebiasis. Entamoeba histolytica memiliki dua fase hidup: tropozoit dan kista. Kista merupakan fase infektif dari Entamoeba histolytica, di mana jika tertelan ia akanmenjadi salah satu jalan penularannya. Tropozoit merupakan fase patogen, ia dapat menginvasi jaringan dengan cara menempel pada mukosa kolon dan sel epitel menggunakan Gal/GalNAc. Lesi awalnya berupa mikroulserasi dari mukosa cecum, sigmoid, dan epitel.5
Trichuris trichiura
Trichuris yang disebut juga cacing cambuk memiliki tempat hidup di kolon dan cecum. Ribuan telur diproduksi oleh cacing betina dewasa setiap harinya. Telur ini merupakan bentuk infektif cacing cambuk. Jika tertelan, teluar akan menetas di duodenum dan ketika ia telah matur akan bermigrasi ke kolon. Sebagian besar infeksinya tidak bergejala, namun untuk infeksi berat, akan menyebabkan nyeri abdominal, anorexia, dan diare berdarah atau berlendir yang mirip dengan gejala IBD. Pada anak, dapat juga terjadi rectal prolapse.5
Infeksi viral
Rotavirus merupakan salah satu penyebab diare yang lebih banyak menyerang anak-anak. Secara klinis manifestasinya tidak berbeda dari gastroenteritis yang lain. Mekanisme hingga ia dapat menyebabkan diare diketahui melalui beberapa cara yang berbeda di antaranya: malabsorpsi akibat kerusakan enterosit, adanya toksin, perangsangan saraf enterik, dan ischemia pada vilus. Rotavirus tidak ternetralkan oleh asam lambung sehingga ia masuk ke dalam bagian proksimal usus. Virus ini lantas masuk ke sel epitel dengan masa inkubasi sekitar 18-36 jam, di mana pada saat tersebut virus akan menghasilkan enterotoksin NSP-4. Toksin ini akan menyebabkan kerusakan permukaan epitel vili, menurunkan sekresi enzim digesti usus halus, menurunkan aktivitasNa+ kotransporter serta menstimulasi saraf enterik yang menyebabkan diare.6 Selain rotavirus, ada juga virus penyebab diare yang lain di antaranya: caliciviruses, astroviruses, adenoviruses, dan coronaviruses.
Berbeda dengan diare akut, diare kronik berlangsung selama lebih dari 4 minggu. Sebagian besar penyebabnya adalah noninfeksius. Adapun klasifikasi diare kronik didasarkan atas mekanisme patofisiologinya, diantaranya diare sekretori, diare osmotik, diare steatorrheal, diare inflamasi, diare dismotil, dan lain-lain. Diare sekretori terjadi akibat perubahan atau gangguan pada transpor cairan dan elektrolit via mukosa enterokolik. Sementara itu, diare osmotik terjadi jika seseorang mengonsumsi makanan yang sulit diabsorpsi dan aktif osmotik, sehingga sifatnya menarik air menuju lumen dan menurunkan kapasitas reabsorpsi dari kolon. Diare steatorrheal terjadi akibat malabsorpsi lemak. Diare dengan inflamasi juga dapat tergolong diare kronik, di mana terdapat manifestasi inflamasi, nyeri, demam, atau perdarahan. Diare dismotil, disebabkan oleh perpindahan masa feces yang terlalu cepat sehingga sekresi dan absorpsi tidak optimal.3
2. Faktor Risiko
Diare dapat menyerang siapa saja, mulai bayi hingga lanjut usia. Namun, perlu diketahui bahwa terdapat kelompok-kelompok orang yang lebih berisiko untuk terkena penyakit diare. Orang-orang yang suka bepergian misalnya. Hal ini berkaitan dengan adanya regio atau daerah-daerah endemik sehingga muncullah istilah traveler’s diarrhea. Sebagai contoh, di daerah Rusia khususnya St. Petersburg, risiko diare yang berhubungan dengan Giardia meningkat. Berbeda dengan Rusia, Nepal menjadi tempat yang lebih berisiko bagi turis untuk terinfeksi Cyclospora. Namun, hal ini kembali ke mekanisme pertahanan tubuh seseorang terhadap masuknya patogen-patogen tersebut. Kelompok orang kedua setelah yang suka bepergian adalah mereka yang mengonsumsi makanan tertentu seperti seafood mentah yang dikhawatirkan mengandung spesies Vibrio atau Salmonella. Kelompok ketiga adalah mereka yang mengalami imunodefisiensi baik primer maupun sekunder. Imunodefisiensi primer berkaitan dengan defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, dan chronic granulomatous disease. Sedangkan, imunodefisiensi sekunder berhubungan dengan AIDS, usia lanjut, dan supresi farmakologis misalnya pada orang yang telah mengalami operasi transplantasi. Di samping itu, orang yang tinggal serumah dengan penderita diare juga lebih berisiko tertular. Selain menular pada orang-orang yang tinggal satu rumah, diare juga sering menjadi bagian terbanyak dari infeksi nosokominal, sehingga orang yang bekerja di tempat layanan kesehatan akan lebih berisiko terkena diare.3
3. Patogenesis
Diare infeksius, berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi dua sindrom, yaitu: diare infeksius dengan inflamasi dan noninflamasi. Diare infeksius noninflamasi, patogenesis dan patofisiologinya berbeda dari masing-masing etiologi, walaupun beberapa ada yang mirip atau bahkan sama. Berbeda dengan ini, diare infeksius dengan inflamasi akan berakibat pada terjadinya perdarahan. Diare yang berlanjut menjadi diare berdarah dapat disebabkan oleh kolitis infeksi atau inflammatory bowel disease (IBD). Keduanya dapat menunjukkan pola yang mirip, karena kolitis infeksi juga akan menyebabkan inflamasi, dan perubahan signifikan dari kebiasaan usus.4
IBD adalah kelainan inflamasi kronik yang menyerang sistem gastrointestinal dengan etiologi yang belum diketahui. Adapun penyebab terjadinya perdarahan yang paling berhubungan adalah kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif adalah inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa dari kolon dan rektum. Sedangkan penyakit Crohn dapat menyerang seluruh bagian dari traktus gastrointestinal dari mulut hingga anus, dan memiliki karakteristik inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa. Jika inflamasi ini sangat parah atau terdapat ulkus yang hingga sampai di lapisan tempat pembuluh darah berada, maka terjadilah perdarahan.4
4. Patofisiologi
Pada prinsipnya, diare dapat terjadi melalui 2 mekanisme yaitu: abnormalitas fungsi motorik serta abnormalitas transpor cairan dan elektrolit. Gangguan pada motilitas usus tentu akan mempengaruhi pada fungsi lain yaitu absorpsi, sekresi, dan digestinya. Motilitas yang terlalu cepat misalnya akan menyebabkan frekuensi defekasi meningkat dan mengurangi efektivitas absorpsi. Gangguan kedua terletak pada transpor cairan dan elektrolit. Terdapat dua kemungkinan di antaranya sekresi yang berlebih atau absorpsi yang kurang.3
Sementara itu, diare berdarah dapat terjadi dengan patofisiologi sebagai berikut. Gejala pada kolitis infeksi dapat terjadi akibat pengaruh langsung organisme pada mukosa gastrointestinal atau melalui toksin yang diproduksi oleh organisme tersebut. Interaksi antara host dengan mikroorganisme ini menyebabkan kerusakan enterosit atau kematian sel yang menstimulasi respon inflamasi oleh beragam sitokin dan mediator inflamasi yang dilepaskan. Mediator ini mengganggu fungsi normal dan arsitektur usus dalam hal absorpsi dan sekresi. Pada IBD, respon inflamasi akan mendatangkan PMN dan memnyebabkan terjadinya abses pada kriptus. Terjadi kerusakan juga pada brush border sehingga digesti dan absorpsi tidak efektif. Apabila kerusakan terjadi terus menerus akan timbul ulserasi pada epitel dan eksudat kapiler dan limfa yang masuk ke dalam lumen. Inilah yang menimbulkan gambaran klinis diare berdarah.4
III. Penutup
Diare dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan noninfeksi. Faktor infeksi dapat menjadikan diare tersebut disertai inflamasi maupun tidak. Diare akibat infeksi disebabkan oleh ingesti patogen golongan bakteri, parasit, dan virus, yang jika berinteraksi dengan tubuh akan menimbulkan gejala diare.
IV. Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.
2. Yamada T. Principles of clinical gastroenterology. 1st ed. Chichester: John Wiley & Sons Ltd; 2008. p. 304-43.
3. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 224-9.
4. Kim KE. Acute gastrointestinal bleeding. 1st ed. New Jersey: Humana Press; 2003. p. 151-4.
5. Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 1st ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p. 228-89
6. Ramig, RF. Pathogenesis of intestinal and systemic rotavirus infection. Journal of Virology 2004; 78(19): 10213-10220.