Mau share info, semoga bermanfaat :)
Sinusitis diartikan sebagai radang pada sinus paranasal. Akan tetapi, istilah yang kini lebih sering digunakan adalah rhinosinusitis karena sinus berhubungan erat dengan rongga nasal dan setiap radang sinus hampir selalu diiringi oleh radang pada rongga nasal.1 Rhinosinusitis adalah radang pada dinding mukosa nasal dan sinus paranasal. Rhinosinusitis dikatakan akut apabila gejala ada tidak lebih dari 4 minggu. Jika keluhannya berulang 3 kali atau lebih dalam 1 tahun maka disebut rekuren.2 Penyebabnya bisa beragam, antara lain: alergen, iritan, infeksi virus, bakteri, atau jamur. Di antara berbagai penyebab tersebut, yang paling sering menyebabkan rhinosinusitis adalah infeksi virus, yaitu mencapai 90%-98% kasus. Sedangkan, infeksi bakteri diperkirakan hanya menyebabkan 2%-10% kasus. Ada juga infeksi virus yang kemudian menyebabkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dengan prevalensi 0,5%-2% pada dewasa dan 5% di anak.1,2
Melihat kemungkinan penyebab bakteri yang cukup kecil dibandingkan virus, muncul kekhawatiran adanya kesalahan dalam pemberian antimikroba sebagai terapi rhinosinusitis. Tidak jarang ditemukan seorang pasien yang berobat ke dokter dengan keluhan batuk dan hidung tersumbat akan diberi obat antibiotik. Padahal nyatanya, 70% pasien rhinosinusitis akut membaik dengan sendirinya dalam suatu penelitian placebo-controlled randomized clinical trials.3 Yang ditakutkan dari penggunaan antibiotik yang kurang rasional ini adalah timbulnya resistensi mikroba terhadap antibiotik yang ada saat ini menjadikan pengeradikasian mikroba tersebut akan semakin sulit di masa yang akan datang.
TATALAKSANA RHINOSINUSITIS
Tujuan dari tatalaksana rhinosinusitis adalah mengurangi bengkak, eradikasi infeksi, drainase sinus, dan mempertahankan sinus tetap terbuka. Tatalaksana ini akan disesuaikan dengan etiologi dan keparahan penyakit. Obat analgesik seperti acetaminophen dan ibuprofen dapat mengurangi gejala nyeri ringan hingga sedang. Kongesti dapat dihilangkan dengan obat dekongestan, akan tetapi obat ini tidak menyembuhkan rhinosinusitis. Antihistamin dapat mengeringkan mukus namun terkadang justru memperparah kondisi. Sementara itu, obat batuk tidak direkomendasikan untuk anak di bawah 4 tahun.2
Sebagian besar penyebab rhinosinusitis adalah virus yang tidak akan memberikan respons terhadap pemberian antimikroba dan membaik dengan sendirinya dalam 7-14 hari. Karenanya, dokter dapat menunggu hingga 14 hari sebelum pemberian antibiotik, jika gejala rhinosinusitis yang ditunjukkan pasien merujuk pada tanda infeksi akibat virus.2 Oleh karena itu, penting sekali untuk seorang dokter membedakan apakah etiologi rhinosinusitis pasien merupakan infeksi, dan jika infeksi apakah penyebabnya bakteri ataukah virus.
Infeksi saluran napas atas oleh virus ditandai dengan adanya gejala nasal berupa keluarnya cairan atau discharge nasal dan kongesti atau obstruksi dan/atau batuk. Pasien juga biasanya merasakan sensasi tenggorokan yang tidak nyaman. Biasanya cairan nasal awalnya cair dan bening. Akan tetapi, sifatnya seringkali berubah selama perjalanan penyakit menjadi lebih tebal, kental, dan mukoid, serta dapat pula menjadi purulen dalam beberapa hari dan kemudian kembali menjadi cair dan bening tanpa adanya efek dari antimikroba. Gejalanya akan membaik pada 5-10 hari. Umumnya pasien dengan infeksi virus tidak demam. Tetapi jika ditemukan demam, biasanya akan hilang dalam 1 hingga 2 hari.1
Pada acute bacterial rhinosinusitis (ABRS), terdapat gambaran klinis tipikal yang membedakannya dari infeksi akibat virus, yaitu: onset dengan gejala persiten yang lebih dari 10 hari tanpa perbaikan, onset dengan gejala yang parah dengan ciri demam 39 0C dan cairan nasal yang purulen selama minimal 3 hingga 4 hari di permulaan sakit, dan onset gejala infeksi virus yang memburuk secara mendadak. Seringkali juga ditemukan batuk, sakit kepala, nyeri wajah, dan napas berbau.1
Terapi antimikroba empiris harus diinisiasi sesegera mungkin setelah diagnosis ABRS ditegakkan. Tujuannya adalah untuk mengurangi lamanya penyakit, perbaikan gejala, mengembalikan kualitas hidup, dan mencegah infeksi rekuren atau komplikasi supuratif. Adapun lini pertama pilihan obat antimikroba untuk ABRS adalah kombinasi asam klavulanat dan amoxicillin.
Asam Klavulanat
Asam klavulanat diisolasi dari jamur S. clavuligerus. Kerjanya adalah menghambat eksoenzim stafilokok yang diperantarai plasmid dan β-lactamase yang dihasilkan oleh H. influenzae, N. gonorrhoeae, E. coli, Salmonella dan Shigella.4
Amoxicillin
Amoxicillin merupakan golongan dari penicillin berspektrum luas. Karenanya, obat ini dikontraindikasikan untuk orang yang alergi terhadap penicillin. Untuk pasien dewasa yang alergi penicillin, direkomendasikan untuk mengonsumsi fluoroquinolones seperti levofloxacin atau moxifloxacin. Antimikroba golongan lain seperti cotrimoxazole sudah kurang efektif sehingga tidak lagi direkomendasikan sebagai pilihan terapi untuk ABRS.2
Amoxicillin bersifat bakterisidal dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme kerjanya secara singkat adalah sebagai berikut: obat berikatan dengan penicillin-binding protein (PBP) pada mikroba à gangguan transpeptidasi antar rantai peptidoglikan yang menghambat sintesis dinding sel mikroba à aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.4
Kombinasi Asam Klavulanat dan Amoxicillin
Terapi amoxicillin tunggal untuk infeksi pada rhinosinusitis sudah digeser oleh kombinasi dengan asam klavulanat. Hal ini didasari oleh bakteri penyebab ABRS yang mampu menghasilkan enzim β-lactamase seperti Haemophillus influenzae.1,4 Amoxicillin tunggal aktif melawan berbagai kuman yang tidak menghasilkan β-lactamase. Dengan penambahan asam klavulanat yang merupakan penghambat β-lactamase, spektrum aktivitas antimikroba menjadi semakin luas. Penghambat β-lactamase tidak menunjukkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam menanggulangi penyakit infeksi. Dengan adanya penghambat β-lactamase, antibiotik pasangannya bebas dari perusakan oleh enzim tersebut sehingga mampu bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju.4
Kedua komponen obat ini tidak saling menghambat. Absorpsi klavulanat tidak dipengaruhi makanan, susu, maupun antasid. Namun, obat ini tidak tahan terhadap suasana asam. Sekitar 30% kadar klavulanat diikat oleh protein plasma, sisanya didistribusi terutama ke dalam cairan ekstrasel. Kadar klavulanat pada sputum cukup tinggi. Ekskresi utamanya melalui ginjal. Obat ini jarang menimbulkan efek samping berat. Efek yang mungkin timbul adalah diare dan meningkatnya transaminase serum.4
Kesimpulan
Tidak semua pasien rhinosinusitis diberikan tatalaksana antimikroba karena sebagian besar penyebabnya adalah virus yang tidak merespon pemberian antimikroba. Penggunaan obat antimikroba harus ditekan guna menghindari timbulnya resistensi kuman terhadap obat. Karenanya dokter harus dapat mengidentifikasi penyebab rhinosinusitis pasiennya guna mencapai penggunaan obat antimikroba yang rasional.
KEPUSTAKAAN
1. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al. IDSA Clinical practice guideline for acute bacterial rhinosinusitis in children and adults [internet]. Infectious Diseases Society of America; 2012. [cited 2014 May 24]. Available from: http://www.idsociety.org/uploadedFiles/IDSA/Guidelines-Patient_Care/PDF_Library/IDSA%20Clinical%20Practice%20Guideline%20for%20Acute%20Bacterial%20Rhinosinusitis%20in%20Children%20and%20Adults.pdf
2. Sinusitis [internet]. 2012 [updated ; cited 2014 May 24] Available from: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/sinusitis
3. Young J, De Sutter A, Merenstein D, et al. Antibiotics for adults with clinically diagnosed acute rhinosinusitis: a meta-analysis of individual patient data. Lancet 2008; 371:908-14.
4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007. Chapter 12 Antimikroba. p.664-693.
No comments:
Post a Comment